Melonjaknya permintaan alat perlindungan diri (APD) dan keharusan menggunakan masker kain untuk mencegah penyebaran virus SARS-CoV-2 menimbulkan konsekuensi meningkatnya limbah medis.
Asia Development Bank (ADB) memprediksi Jakarta dapat menghasilkan tambahan 12.720 ton limbah medis berupa sarung tangan, baju APD, masker, dan kantong infus selama 60 hari selama pandemi.
Badan Kesehatan Dunia atau WHO, Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, pemerintah daerah dan institusi-institusi kesehatan dunia sudah mengeluarkan panduan dan protokol penanganan alat perlindungan diri (APD), termasuk masker untuk penggunaan medis dan non-medis, sampai penanganan akhir setelah masa pakai.
Berikut empat cara mengelola limbah APD dan masker bagi fasilitas pelayanan kesehatan (puskesmas dan rumah sakit) dan masyarakat:
1) Potong-potong dan buang
Untuk limbah masker di luar fasilitas pelayanan kesehatan, –dari rumah para pasien atau orang dalam pemantauan (PDP dan ODP)–, baik Kementerian Kesehatan (Kemenkes) dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) sudah mengeluarkan pedoman yang sama.
Masker dipotong-potong atau dirusak terlebih dahulu sebelum dibuang. Cara ini disarankan untuk mencegah penyalahgunaan, seperti dijual kembali.
Kelemahan dari cara tersebut adalah (1) masker sekali pakai biasanya terbuat dari bahan dasar plastik, tidak mudah basah dan tidak mudah terbakar; (2) akan berakhir di lingkungan ketimbang diangkut dan dibawa ke tempat pengolahan akhir (TPA).
Meski peningkatan jumlah limbah rumah tangga tidak sedrastis dari rumah sakit, pemerintah menyarankan untuk menggunakan bahan dari kain yang bisa dicuci dengan sabun dan dipakai kembali untuk mengurangi limbah.
2) Tempat penampungan sementara (TPS) atau depo transit
WHO dan badan kesehatan publik di Inggris (Public Health England) menyarankan memasukkan limbah APD saat COVID-19 ke dalam kantung plastik kuning dua lapis dan ditampung selama 72 jam di tempat sementara sebelum dibuang ke fasilitas pengolahan akhir.
Bulan Februari 2020, studi yang dilakukan oleh peneliti bidang teknologi industri asal Cina, Yu Hao, dan rekan-rekan peneliti di Norwegia merekomendasikan penampungan sementara limbah padat dari fasilitas pelayanan kesehatan di tempat transit sebelum dibawa ke tempat akhir selama wabah berlangsung.
Public Health England menyarankan menampung limbah APD selama 72 jam sebelum pengangkutan. Harapannya, virus sudah mati baru dibawa ke fasilitas penanganan akhir.
3) Metoda penguapan atau autoklaf
Tahun 2003, WHO dan UNEP, lembaga PBB yang berfokus kepada isu-isu lingkungan hidup, mengesahkan penanganan limbah medis dengan metoda penguapan atau autoklaf.
Metode berfungsi sebagai pengganti metode pembakaran untuk mencegah lepasan persistent organic pollutants (POPs) atau senyawa organik yang bersifat racun dan bertahan lama di lingkungan.
Metode autoklaf memperlakukan limbah medis menjadi steril dengan cara menggunakan uap panas, dicacah, dan akhirnya dibuang ke TPA.
Di Indonesia, sudah banyak autoklaf dipasang di rumah sakit tapi izinnya berbelit. Saat ini, berdasarkan wawancara saya dengan para pelaku swasta tahun 2019, baru ada empat dari 54 rumah sakit yang sudah mengantongi izin pengoperasian.
Rumah sakit di Amerika Serikat (AS) juga mulai mencari jalan keluar dari krisis pasokan APD dengan cara mensterilkan APD masker N95 dalam autoklaf raksasa agar dapat digunakan kembali.
Health Care Without Harm, sebuah organisasi nirlaba yang fokus terhadap penyediaan fasilitas kesehatan yang berkelanjutan dan tidak merusak lingkungan telah memperbaharui data terkait autoklaf di pasar pada tahun 2014.
Banyak fasilitas pelayanan kesehatan di Eropa dan AS yang beralih ke teknologi autoklaf untuk penanganan limbah medis mereka.
Penanganan limbah APD dengan cara penguapan bisa dilakukan dengan memisahkan sesuai jenisnya terlebih dahulu. Setelah itu bawa limbah ke fasilitas penampung sementara dan simpan selama 3 hari. Gunakan autoklaf yang dilengkapi dengan mesin pencacah sebelum membawa limbah ke TPA bersama sampah lainnya.
Limbah sebaiknya jangan dibakar karena akan menjadi limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (limbah B3). Kalau ditangani dengan uap panas, limbah akan menjadi limbah domestik yang steril.
4) Pembakaran atau insinerasi
Seperti disebutkan di atas proses insinerasi bisa menimbulkan masalah baru yang lebih serius yaitu munculnya limbah B3.
Limbah B3 yang berbentuk abu yang terbang di udara, kerak sisa pembakaran, dan emisi dari tungku bakar yang mengandung dioksin, partikel sangat lembut (ultrafine particles), dan logam berat yang berpotensi mencemari air, tanah, dan udara.
Sejauh ini, belum pernah ada pemantauan dioksin, –senyawa berbahaya yang bisa merusak lingkungan dan mengancam kesehatan manusia–, akibat pembakaran limbah medis di Indonesia.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) telah merekomendasikan membakar sampah dengan tungku bakar dengan temperatur di atas 800 derajat Celsius (insinerator) untuk menjamin seluruh virus tak mencemari lingkungan.
Untuk limbah medis dari COVID-19, tidak perlu melewati proses pembakaran seperti ini karena virus COVID-19 dapat mati pada temperatur 100 derajat Celsius dan setelah berada di permukaan keras seperti plastik dan kertas selama 72 jam.
Namun seperti kita ketahui bersama, sebagian besar rumah sakit di Indonesia berada di tengah-tengah kawasan permukiman.
Selain itu, dari sekitar 2.889 rumah sakit di Indonesia, hanya 82 RS yang memiliki izin insinerator dan hanya 63 unit insinerator yang berfungsi.
Mana yang efektif?
Penjelasan di atas menunjukkan metode yang paling efektif adalah metode penguapan. Metode pembakaran sebaiknya dihindari karena berdampak buruk pada lingkungan. Sementara itu, penggunaan APD sekali-pakai-buang saat pandemi hanya menambah beban pengolahan limbah medis
Saat ini, arahan WHO untuk mengoptimalkan ketersediaan APD yang efektif adalah 1) meminimalkan kebutuhan APD; 2) memastikan APD digunakan secara rasional sesuai kebutuhan; 3) Berkoordinasi dengan produsen dan pemasok APD untuk memastikan ketersediaan APD.
Sumber: theconversation.com
Leave a Reply