Akses masyarakat terhadap sanitasi dasar terbilang masih minim, khususnya di wilayah pedesaan. Di banyak tempat, bahkan tidak sedikit warga tidak memiliki jamban. Kondisi ini memberi tekanan lebih besar terhadap kemiskinan. “Sebanyak 19,67 persen (data tahun 2007) warga tidak memiliki jamban. Sangat menyedihkan, mereka membuang begitu saja kotoran ke sungai,” kata guru besar Teknik Penyehatan Institut Teknologi Bandung Wisjnuprapto, Selasa (11/8). Ia menuturkan, hanya kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, Cirebon, Yogyakarta, dan Makassar yang memiliki sarana pengelolaan air limbah rumah tangga secara ideal, yaitu terpusat. Namun, jumlahnya ini pun masih terbilang sangat minim.
Di DKI Jakarta misalnya, diketahui hanya satu persen dari wilayahnya yang terlayani sistem pengelolaan air limbah RT terpusat. Bandung dan Cirebon kondisinya relatif lebih baik, yaitu mencapai 50 persen. “Di luar ini (sistem terpusat), ya masyarakat terpaksa mengusahakan sendiri sanitasinya. Yaitu, dengan membuat tangki septik di bawah tanah dan cubluk. Yang lebih parah, mereka membuang ke sungai, bahkan yang lebih primitif lagi ditimbun ke tanah begitu saja,” tuturnya. Padahal, dampak dari praktik sanitasi yang buruk ini sangatlah besar. Bakteri Eschericia coli (E-coli) yang muncul dari sisa-sisa tinja yang terserap di tanah dapat mencemari sumber-sumber air minum. Sehingga, pada akhirnya dapat menimbulkan penyakit diare, muntaber, dan penyakit-penyakit pencernaan lainnya. Kekhawatiran ini nyatanya betul-betul terjadi.
Sebagai contoh, berdasarkan data Departemen Kesehatan, 75 persen air tanah di DKI Jakarta telah tercemar E-coli dan tidak dapat digunakan sebagai air minum. Ia mengkritisi kebijakan sejumlah pemerintah daerah yang beranggapan bahwa pengolahan air limbah RT dengan cara meresapkan efluen tangki septik ke dalam tanah. Ini adalah persepsi yang sangat salah. Pengolahan limbah domestik dalam tangki septik maksimum hanya mampu menyisihkan 30 persen biochemical oxygen demand (BOD). Sisanya terserap di tanah, tuturnya. Terendah di Asia Secara umum, ia mengatakan, baru 55,43 persen penduduk Indonesia terlayani sarana sanitasi yang layak. Terendah dibandingkan negara di Asia lainnya.
Singapura mencapai 100 persen, Malaysia 74,70 persen, dan Myanmar 64,48 persen. Padahal, sanitasi yang buruk dapat berimplikasi, yaitu memberi tekanan yang lebih besar terhadap kemiskinan. Penyebaran penyakit akan membuat mereka semakin miskin, ucapnya sambil menyebutkan, Indonesia adalah yang terburuk di Asia dalam kasus waterborne disease (penyakit menular lewat air). Penyakit diare misalnya, menjadi pembunuh nomor wahid bayi di Tanah Air. Di tahun 2007, muncul 3.661 kasus diare di 10 kabupaten/kota dengan tingkat mortalitas sebesar 1,26 persen. Kerugian akibat sanitasi buruk ini diperkirakan mencapai Rp 56 triliun per tahun. Tjandra Setiadi, guru besar dari Teknik Kimia ITB, mengatakan, persoalan penyediaan air bersih dan sanitasi akan semakin krusial di masa-masa mendatang, terutama jika dikaitkan dengan persoalan perubahan iklim. Perubahan iklim akan sangat memengaruhi ketersediaan air bersih, khususnya di daerah pesisir. Dan, Indonesia, termasuk yang tidak siap mengantisipasi ini. Jika itu yang terjadi, kemiskinan pun akan semakin hebat, tuturnya.
Leave a Reply