BANDUNG, itb.ac.id—Sanitasi merupakan cara pengumpulan dan pembuangan ekskreta dan limbah cair secara higienis agar tidak membahayakan kesehatan individu maupun masyarakat secara keseluruhan. Tidak hanya mencakup tinja manusia tetapi juga kotoran dari hewan.
Menurut Prof. Dr-Ing. Ir. Prayatni Soewondo, MS., Guru Besar Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan ITB, paparan fekal pada manusia bisa melalui beberapa jalur seperti tanah, air, dan udara sampai akhirnya masuk ke tubuh manusia. Fekal mengandung banyak penyakit dari patogen yang terkadung di dalamnya, baik bakteri, protozoa, cacing/helminth, maupun virus.
Hal tersebut diungkapkan Prof. Prayatni dalam webinar dari Kelompok Keahlian Rekayasa Air dan Limbah Cair, FTSL ITB, Selasa, 21 Juli 2020. Selain Prof. Prayatni, webinar ini diisi Dr. Ahmad Soleh Setiyawan (Dosen Prodi Magister Pengelolaan Infrastruktur Air dan Sanitasi) dan dipandu oleh Dr. Dyah Wulandari Putri, S.T., M.T., sebagai moderator.
Prof. Prayatni melanjutkan, sanitasi yang baik merupakan salah satu cara untuk mencegah paparan fekal ke manusia. Berdasarkan PermenPU No. 4 Tahun 2017, Indonesia menggunakan dua sistem pengelolaan air limbah dosmetik (SPALD) yaitu SPALD-S (Sistem Setempat) di mana setiap rumah memiliki pengelolaan air limbah secara individu atau komunal dan SPALD-T (Sistem Terpusat) di mana air limbah setiap rumah akan dikumpulkan dan dialirkan secara terpusat ke Instalasi Pegolahan Air Limbah (IPAL) kota.
“Teknologi sanitasi yang umum digunakan di Indonesia dimulai dari jamban yang terdiri dari toilet jongkok, toilet duduk, dan toilet umum (MCK) dan masuk ke pengangkutan dan pengolahan setempat terdiri dari septic tank, anaerobic filter, infilitration area, vacuum truck sampai akhirnya masuk ke pengumpulan sistem terpusat melalui small-bore sewer dan conventional gravity sewer. Kemudian diolah di pengolahan terpusat dengan stabilization pond, UASB, activated sludge, RBC, tricking filter, dan sludge drying bed,” ujar Prof. Priyatni.
Saat ini, lanjutnya, di Indonesia belum memiliki 100% sanitasi yang baik karena masih ada yang melakukan BABS (Buang Air Besar Sembarangan) yang berpotensi menyebarkan fekal.
Pada sesi kedua, Dr. Ahmad menjelaskan mengenai sistem sanitasi sebagai salah satu kunci pencegahan pandemi virus, yaitu keberadaan virus di lingkungan perairan. Pasien yang menderita infeksi virus akan mengeluarkan 105 hingga 1011 virus per gram tinja. Setelah masuk ke air limbah, konsentrasi 105 partikel virus berada pada satu liter air limbah. Kemudian, mengalir ke air sungai dan ditemukan tingkat virus enterik dalam air sungai yaitu sebesar 13 hingga 192 PFU/L rata-rata bulanan.
Menurutnya, pengolahan air saat ini hanya dapat menghilangkan 50-90% virus pada air limbah sehingga masih banyak wabah penyakit terkait dengan konsumsi kerang mentah, air minum, dan air rekreasi.
“Sudah ada beberapa fakta terjadinya wabah yang disebabkan virus pada air, seperti yang terjadi di Texas, 7.900 orang terinfeksi virus Coxsackie dan Hepatitis A yang ditemukan di air sumur mentah pada tahun 1980, kemudian 61 orang di Florida terinfeksi virus hepatitis A setelah makan ikan kerang yang terpapar kotoran manusia pada tingkat sangat rendah pada tahun 1998. Dan yang sedang marak saat ini wabah virus corona juga meninggalkan DNA virusnya bukan dalam bentuk virus hidup pada air limbah, walaupun belum diketahui risikonya terhadap kesehatan dan masih dikaji pada banyak penelitian,” ujar Ahmad.
Pada akhir sesi webinarnya, Ahmad menyampaikan masih ada tantangan dalam sanitasi dan pandemi virus, seperti teknik mendeteksi virus di lingkungan perairan, teknologi fasilitas pengolahan sistem sanitasi yang memadai, sistem early warning/monitoring keberadaan virus di lingkungan, pengelolaan lingkungan perairan di sekitar area pemukiman, serta kesadaran dan kepedulian semua pihak mengenai kemungkinan keberadaan virus di lingkungan perairan.
Leave a Reply