Jangan pernah berharap penyakit bisa terbebas dari suatu wilayah tertentu tanpa perubahan perilaku dan pola hidup masyarakat setempat. Prinsip itu yang kini berkembang di sejumlah daerah di Pulau Timor, Nusa Tenggara Timur. Masyarakat setempat mulai giat menggalakkan sanitasi berbasis masyarakat dan berhasil menekan diare.
Saat Kompas bersama sejumlah media massa dari Jakarta mengunjungi Desa Laob, Kecamatan Polen, Kabupaten Timor Tengah Selatan, Kamis (14/3) siang, tampak sekitar 10 siswa Sekolah Dasar (SD) GMIT Baob sibuk mendatangi rumah-rumah warga desa itu. Mereka bertugas memeriksa dan mencatat penggunaan jamban dalam kamar kecil, penyediaan tempat cuci tangan disertai sabun, pengolahan air minum di rumah tangga, serta pengelolaan sampah dan limbah cair rumah tangga.
Para tuan rumah begitu antusias menyambut kedatangan para relawan cilik. ”Mereka itu anak-anak kami. Kehadiran mereka selalu mengingatkan kami untuk hidup sehat,” kata Benyamin Mauboi (53), tokoh masyarakat Desa Laob.
Relawan cilik itu digerakkan Gereja Masehi Injili Timor (GMIT) Baob bersama pemerintah desa setempat. Sekitar 30 siswa SD direkrut menjadi relawan. Mereka dibagi dalam tiga kelompok dan bertugas pada sore hari setelah selesai sekolah. Hasil catatan mereka di lapangan diserahkan kepada pimpinan gereja setempat. Jika ada rumah belum sepenuhnya menjalankan program sanitasi, kepala keluarganya akan dipanggil guna dinasihati.
”Kami sengaja mengajak anak sekolah menjadi relawan sebab biasanya orangtua lebih mudah berubah jika diberi tahu atau diajak anaknya. Apalagi menyangkut hal baik, seperti kesehatan. Strategi ini cukup efektif. Saat ini kesadaran dan cara pandang masyarakat terhadap kesehatan rumah tangga semakin meningkat,” ujar Kepala Desa Laob Ny Y Welhelmina Bahan.
Diare termasuk salah satu penyakit yang paling sering menyerang masyarakat di Timor Tengah Selatan. Pada 2010, misalnya, di Kecamatan Polen terjadi 548 kasus, Kecamatan Amanatun Selatan 338 kasus, dan Kecamatan Kie 1.058 kasus. Tak sedikit anak berusia di bawah lima tahun (balita) yang tewas akibat diare.
Penyebab utama adalah buruknya kesehatan lingkungan dan sanitasi rumah tangga. Di wilayah Polen, misalnya, hingga tahun 2010, hanya sekitar 50 persen rumah yang memiliki kamar kecil. ”Kami sadar betul selama ini masyarakat kami sama sekali tidak peduli soal kesehatan rumah tangga. Air yang diminum tak pernah dimasak, kecuali untuk tamu. Itu sebabnya, bertahun-tahun, penyakit diare begitu akrab dengan kami. Namun, sekarang kami mulai berubah. Mulai sadar tentang pentingnya kesehatan rumah tangga dan lingkungan sehingga bisa menekan diare,” ujar Albertus Fai, pemuka masyarakat Polen.
Lima pilar
Perubahan perilaku masyarakat itu seiring dengan diperkenalkannya program sanitasi total berbasis masyarakat (STBM) oleh Plan Indonesia. Program yang didukung Kementerian Kesehatan ini sebagai strategi nasional untuk menurunkan kejadian diare dan penyakit berbasis lingkungan yang berkaitan dengan sanitasi dan perilaku.
Dalam implementasinya, STBM menawarkan lima pilar yang wajib dilakukan masyarakat. Itu adalah stop buang air besar sembarangan. Artinya, setiap rumah harus memiliki kamar kecil bersih dan dilengkapi jamban yang bebas lalat. Masyarakat juga harus cuci tangan dengan sabun dan setiap air yang diminum harus dimasak terlebih dahulu sehingga bebas dari kuman penyakit. Pembuangan sampah hanya di tempat atau lubang khusus yang disediakan di setiap rumah. Begitu pula dengan limbah cair rumah tangga diharuskan ditampung pada tempat khusus.
Pilihan menggalakkan program STBM, menurut Irsyad Hadi dari bagian Humas Plan Indonesia, karena perbaikan kesehatan harus dimulai dari menumbuhkan kesadaran dalam diri masyarakat. Pada 2003- 2008, Plan Indonesia pernah membagikan ribuan jamban gratis kepada warga di sejumlah daerah di Indonesia. Namun, upaya itu tidak menekan diare. Perilaku masyarakat pun tak berubah.
Maka, ketika memperkenalkan program STBM pada awal Januari 2011, dimulai dengan simulasi tentang hidup sehat. Salah satunya adalah masyarakat sempat dibagikan satu botol air mineral, lalu disuruh minum. Mereka pun tanpa komentar meminum air tersebut.
Selang beberapa menit kemudian, petugas sengaja memasukan sehelai rambutnya ke botol air yang dipegang, lalu menawarkan kepada warga untuk meminum air di botol itu. Ternyata tidak satu pun yang mau. Mereka beralasan air itu sudah kotor. Petugas Plan Indonesia lalu menegaskan bahwa dalam keseharian, air yang diperoleh masyarakat, kecuali air mineral, sebetulnya sudah kotor. Karena itu, air sepatutnya dimasak terlebih dahulu sebelum diminum.
”Kesadaran itu akhirnya tumbuh dan mengubah perilaku masyarakat. Mereka giat membangun kamar kecil secara mandiri dan mencuci tangan pakai sabun. Bahkan, mulai membiasakan diri memasak air untuk minum,” kata Irsyad.
Hasil nyata
Hasil dari kesadaran tersebut sungguh nyata. Pada 2011, kasus diare di Kecamatan Kie 722 kasus atau turun 31,67 persen dibandingkan 2010. Kecamatan Amanatun Selatan 298 kasus atau turun 11,83 persen, dan Kecamatan Polen 393 kasus atau turun 28,28 persen. Kondisi itu terus membaik pada 2012 dan 2013. ”Saat ini kasus diare makin jarang di wilayah Polen,” kata Kepala Puskesmas Polen Karolus Niron.
Bahkan, di Desa Tuabatan, Kecamatan Miomaffo Tenegah, Kabupaten Timor Tengah Utara, dibuat peraturan desa tentang kesehatan masyarakat. Setiap rumah diwajibkan memiliki kamar kecil disertai jamban yang bersih dan bebas lalat, tempat cuci perkakas dapur, lubang sampah, serta tempat penampungan limbah rumah tangga.
Selain itu, setiap ibu hamil wajib memeriksakan kehamilannya di polindes atau puskesmas. Saat persalinan pun diharuskan di puskesmas, polindes, atau rumah sakit. Suami diwajibkan mendampingi istri saat periksa kehamilan dan penimbangan anak. ”Ketentuan ini ada sanksinya. Misalnya, bagi ibu yang bersalin di rumah dikenai sanksi Rp 250.000. Jumlah uang ini sangat besar nilainya bagi kami di pedalaman Timor. Namun, yang paling utama kami ingin menyadarkan warga tentang pentingnya hidup sehat,” ujar Dominikus Bana (52), Ketua BPD Desa Tuabatan.
Menurut WHO, intervensi lingkungan melalui modifikasi lingkungan dapat menurunkan risiko penyakit diare hingga 94 persen. Modifikasi lingkungan itu termasuk penyediaan air bersih menurunkan risiko 25 persen, pemanfaatan jamban menurunkan risiko 32 persen, pengelolaan air minum rumah tangga menurunkan risiko 39 persen, dan cuci tangan pakai sabun menurunkan risiko 45 persen. Apabila ditambah dengan pengelolaan sampah rumah tangga dan pengelolaan limbah cair rumah tangga, kejadian penyakit diare dapat menurun lebih besar lagi.
Sumber : http://www.ampl.or.id/digilib/read/26-mengubah-perilaku-menekan-diare/48122
Leave a Reply