Kekeringan yang melanda masyarakat di Jawa, Bali dan Nusa Tenggara saat ini, sesungguhnya bukan sesuatu hal yang baru. Hampir setiap tahun berulang, bahkan saat musim kemarau normal seperti tahun 2017 ini. Apalagi terjadi saat kemarau panjang akibat pengaruh El Nino seperti tahun 1997, 2002 dan 2015 yang menyebabkan kekeringan meluas.
Saat ini lebih dari 3,9 juta jiwa masyarakat yang bermukim 2.726 desa di 715 kecamatan dan 105 kabupaten/kota di Jawa dan Nusa Tenggara mengalami kekeringan. Sebagian besar mereka mengalami kekeringan setiap tahunnya.
Memang sudah sejak awal diprediksikan, bahwa pada abad 21 air akan menjadi isu besar dunia dan penyebab timbulnya konflik, jika tidak segera diatasi secara menyeluruh. Kondisi krisis air di dunia terus meningkat dalam tiga dekade terakhir. Sejak memasuki abad 21, krisis air terus berlangsung dengan laju peningkatan yang tidak dapat diperkirakan (Giordano et al., 2004). Jika pada tahun 1950-an hanya sedikit negara-negara yang menghadapi kekurangan air. Namun hingga akhir tahun 1990-an, jumlah negara-negara yang mengalami defisit air meningkat dengan jumlah penduduk sekitar 300 juta jiwa (Gleick, 1999). Diperkirakan 2/3 penduduk dunia akan mengalami kekurangan air pada tahun 2050 jika tidak segera ditanggulanginya.
Oleh karena itu, perhatian terhadap perlunya peningkatan pengelolaan sumberdaya air baik secara internasional maupun nasional telah semakin besar. Secara internasional telah disepakati prinsip-prinsip dasar pengelolaan terpadu sumberdaya air (integrated water resources management) dan secara nasional pemerintah Indonesia telah mengadopsi kebijakan baru pengelolaan sumberdaya air. Jika pada mulanya air adalah masalah yang sederhana yaitu dari mana air itu datang dan bagaimana memanfaatkannya. Namun sekarang, air menjadi masalah yang jauh lebih rumit.
Bagaimana dengan Indonesia? Secara nasional, ketersediaan air masih mencukupi, bahkan sampai dengan proyeksi tahun 2020 ketersediaan air masih mencukupi untuk pemenuhan seluruh kebutuhan air, seperti untuk kebutuhan rumah tangga, perkotaan, irigasi, industri dan lainnya. Namun secara per pulau, ketersediaan air yang ada sudah tidak mencukupi seluruh kebutuhan khususnya di Pulau Jawa, Bali dan Nusa Tenggara.
Studi neraca air yang dilakukan Kementerian PU pada tahun 1995 menunjukkan bahwa, surplus air hanya terjadi pada musim hujan dengan durasi sekitar 5 bulan sedangkan pada musim kemarau telah terjadi defisit untuk selama 7 bulan. Artinya ketersediaan air sudah tidak mampu memenuhi kebutuhan air bagi penduduk di Jawa, Bali dan Nusa Tenggara.
Hasil penelitian lain mengenai neraca air pada tahun 2003, juga menunjukkan hasil yang sama. Dari total kebutuhan air di Pulau Jawa dan Bali sebesar 83,4 miliar meter kubik pada musim kemarau, hanya dapat dipenuhi sekitar 25,3 miliar kubik atau hanya sekitar 66 persen.
Studi yang dilakukan Bappenas pada tahun 2007 juga menunjukkan hasil bahwa ketersediaan air yang ada sudah tidak mencukupi seluruh kebutuhan pada musim kemarau di Jawa, Bali dan Nusa Tenggara. Sekitar 77% kabupaten/kota telah memiliki satu hingga delapan bulan defisit air dalam setahun. Pada tahun 2025 jumlah kabupaten defisit air meningkat hingga mencapai sekitar 78,4% dengan defisit berkisar mulai dari satu hingga dua belas bulan, atau defisit sepanjang tahun. Dari wilayah yang mengalami defisit tersebut, terdapat 38 kabupaten/kota atau sekitar 35% telah mengalami defisit tinggi.
Krisis air ini akan makin meningkat di masa mendatang. Bertambahnya jumlah penduduk otomatis kebutuhan air makin meningkat. Ironisnya kerusakan daerah aliran sungai, degradasi lingkungan, makin berkurangnya kawasan resapan air, tingginya tingkat pencemaran air, rendahnya budaya sadar lingkungan dan masalah lainnya juga menyebabkan pasokan air makin berkurang. Daya dukung lahan telah terlampaui sehingga pengelolaan sumber daya air menjadi lebih rumit.
Inilah yang menyebabkan kekeringan selalu berulang setiap tahun. Perlu upaya yang terpadu dan berkelanjutan untuk mengatasi hal ini. Kekeringan adalah resultan dari permasalahan lingkungan di bagian hulu dan hilirnya. Perlu solusi jangka pendek, menengah dan panjang.
Upaya jangka pendek saat ini adalah bagaimana memenuhi kebutuhan air saat musim kemarau hingga memasuki musim penghujan nanti. Upaya yang dilakukan pemerintah dan pemda adalah droping air bersih. Setiap tahun BPBD dibantu relawan, SKPD, PMI, NGO memberikan droping air bersih melalui tangki air. BNPB memberikan bantuan dana siap pakai bagi BPBD. Pembangunan bak penampungan air, embung, peningkatan pipanisasi dan sumur bor. Kementerian PU Pera, Pemda dan Kementerian ESDM sudah banyak membangun sumur bor, embung dan bak penampungan air. Bantuan BNPB untuk pembangunan sumur bor, embung dan bak penampungan air ternyata telah mampu mengurangi dampak kekeringan di berbagai daerah. Pembangunan konservasi tanah dan air melalui pemanenan hujan dengan sumur resapan, biopori, rorak dan lainnya telah banyak dilakukan.
Upaya jangka panjang juga dilakukan. Perlu peningkatan dan perbaikan kualitas lingkungan, reboisasi dan penghijauan, pengelolaan DAS terpadu, pembangunan bendung dan waduk, revitalisasi embung dan saluran irigasi, konservasi tanah dan air. Pemerintah saat ini terus menyelesaikan pembangunan bendungan denfan target pembangunan 65 bendungan selama 2015-2019. Di antara target sebanyak itu, tujuh bendungan sudah dirampungkan hingga akhir 2016.
Ketujuh bendungan itu adalah Bendungan Jatigede, Bendungan Bajulmati, Bendungan Nipah, Bendungan Titab, Bendungan Paya Seunara, dan Bendungan Teritib. Sementara itu, pada 2017 ditargetkan tambahan tiga bendungan selesai yaitu Bendungan Raknamo, Bendungan Tanju, dan Bendungan Marangkayu.
Hingga akhir 2019, pemerintah menargetkan pembangunan 29 bendungan selesai, sehingga, menambah tampungan air sebanyak 2 miliar meter kubik.
Konsistensi dan keberlanjutan upaya penanganan kekeringan melalui berbagai program dan kegiatan tersebut perlu didukung bersama. Perlu solusi permanen untuk mengatasi hal ini dengan gerakan bersama. Jika tidak kekeringan akan terus berulang setiap tahun.
Sumber : https://bpbd.bogorkab.go.id/jawa-bali-dan-nusa-tenggara-defisit-air-sejak-tahun-1996/