Bencana yang memporak porandakan segala sisi kehidupan, turut menimbulkan kedaruratan kesehatan lingkungan. Kondisi ini sangat rentan terjadi di kawasan pengungsi dan sekitar lokasi bencana. Padatnya jumlah pengungsi, minimnya akses air minum dan sanitasi serta rendahnya kesadaran pola hidup bersih dan sehat menjadi masalah serius. Hal ini ditengarai menjadi faktor penyebab kejadian luar biasa (KLB) penyakit berbasis lingkungan.
Oleh karena itu, diperlukan tindakan penanggulangan kedaruratan bidang kesehatan lingkungan. Menurut Direktur Kesehatan Lingkungan Ditjen Kesehatan Masyarakat Kementerian Kesehatan, Imran Agus Nurali, tindakan itu bertujuan mengantisipasi terjadinya KLB penyakit yang disebabkan oleh kondisi lingkungan akibat bencana.
Imran menyampaikan hal itu dalam Pelatihan Fasilitator STBM pada Situasi Bencana Kota Palu, Kabupaten Sigi dan Donggala, di Kota Palu Sulawesi Tengah. Kegiatan yang diinisiasi Kementerian Kesehatan bersama Jejaring AMPL Nasional serta para mitra, Yayasan Plan Internasional Indonesia, UNICEF, Wahana Visi Indonesia, SPEAK Indonesia, YKMI dan Mercy Corps Indonesia itu berlangsung dua tahap.
Tahap pertama dilaksanakan tanggal 11-16 Maret 2019 diikuti peserta dari Kota Palu dan dibuka Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Tengah, sedangkan tahap kedua tanggal 19-23 Maret 2019 dibuka Wakil Bupati Sigi, Paulina, diikuti peserta dari Sigi dan Donggala.
Imran menjelaskan, pihaknya terus melakukan advokasi dan sosialisasi strategi penanggulangan kedaruratan kesehatan lingkungan wilayah bencana. Strategi tersebut di antaranya, mengupayakan kebutuhan minimal sanitasi darurat pada situasi bencana dan kegiatan tertentu. Pihaknya juga mengembangkan kemitraan dengan LSM, organisasi profesi dan pihak lain, dalam upaya pemenuhan minimal sarana sanitasi darurat
“Strategi lainnya adalah mengembangkan dan menerapkan teknologi tepat guna dalam upaya sanitasi darurat dengan memanfaatkan sumber daya setempat serta mudah dioperasionalkan. Seluruh strategi dilakukan untuk mencegah terjadinya KLB penyakit yang disebabkan oleh kondisi lingkungan di wilayah bencana,”paparnya.
Ditambahkan, penerapan strategi diupayakan dengan kegiatan pada tiga siklus bencana, yakni sebelum bencana, pada saat bencana dan pasca bencana. Menurut Imran, pada pra kedaruratan atau pra bencana, pihaknya melakukan advokasi dan sosialisasi kebijakan dan strategi dalam tanggap darurat. Selain itu juga melakukan pelatihan tanggap darurat dan penguatan kapasitas SDM pada penanggulangan bencana, menyusun panduan sanitasi darurat, menjalin jejaring komunikasi serta pemberdayaan masyarakat untuk kesiapsiagaan bencana.
Sedangkan upaya yang dilakukan pada saat bencana, lanjut Imran, pihaknya melakukan assessmen cepat untuk mengetahui kebutuhan tenaga teknis dan non teknis, bahan dan alat kerja serta menentukan lokasi terbaik. Penyediaan air bersih dan sanitasi juga dilakukan dengan tetap melakukan pengawasan kualitasnya. Demikian halnya dengan pengelolaan sanitasi seperti pembuangan sampah, tinja dan air limbah domestic serta lainnya.
“Pada kondisi pasca bencana, tetap dilakukan pengawasan dan perbaikan kualitas air dan sanitasi untuk tetap mencegah terjadinya KLB penyakit berbasis lingkungan,”tandas Imran.
Pada kesempatan yang sama, Ketua Jejaring AMPL Nasional, Laisa Wahanudin menyampaikan, penanganan kondisi air dan sanitasi di wilayah bencana tak bisa dilakukan satu pihak saja. Seluruh komponen, baik pemerintah Pusat dan Daerah, maupun program bantuan atau lembaga donor pun perlu bersinergi. Untuk itulah, lanjut Wahanudin, yang juga Kepala Sub Direktorat Sanitasi Direktorat Perkotaan, Perumahan, dan Permukiman Bappenas Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, kolaborasi semua pihak untuk air dan sanitasi di situasi darurat menjadi keharusan.
“Kegiatan ini adalah wujud kolaborasi. Ini penting karena masalah air dan sanitasi tak bisa dilakukan satu pihak saja, apalagi di wilayah bencana yang serba darurat. Kegiatan ini menjadi sumbangsing kita semua yang tergabung dalam Jejaring AMPL membantu warga korban bencana melalui pendekatan STBM,”ujarnya.
Sementara itu, pelatihan yang diharapkan melahirkan fasilitator pendamping di masyarakat korban bencana berlangsung dalam suasana menarik. Pelatihan yang setiap tahap masing-masing berlangsung lima hari, berlangsung di dalam dan luar kelas. Di dalam kelas suasana belajar berjalan komunikatif dan partisipatif. Metode belajar bersama pun diterapkan sehingga setiap peserta berperan aktif selama pelatihan.
Sedangkan kegiatan di luar, peserta yang berasal dari beragam latar belakang, mulai dari instansi pemerintah, kampus, kelompok masyarakat serta mitra NGO dan fasilitator dari lembaga donor diajak terjun langsung di hunian sementara pengungsi. Mereka melakukan penelusuran lokasi (transek) di lokasi bencana dan melakukan praktik fasilitasi serta pembuatan sarana air dan sanitasi dengan teknologi tepat guna sesuai 5 Pilar STBM.
Leave a Reply