Intervensi manusia terhadap cara alam bekerja seringkali tidak solutif dan malah menyebabkan banyak masalah. Jika kita melihat ke belakang, bentuk intervensi manusia dalam menangani masalah pencemaran sungai di Jakarta sudah banyak dilakukan. Yang paling baru adalah penutupan Kali Item dengan kain waring yang disebut sebagai usaha untuk menanggulangi pencemaran dalam rangka menyambut Asian Games di Jakarta.
Namun, apakah hal tersebut tepat dilakukan?
Untuk memahami duduk perkara tersebut, perlu kita telusuri sejarah bentang alam dan perkembangan kota Jakarta serta usaha-usaha yang telah dilakukan dalam menangani masalah lingkungan termasuk pencemaran sungai di Jakarta.
Fisiografi Jakarta
Jakarta yang terletak di pesisir utara Jawa bagian Barat merupakan wilayah endapan yang berusia lebih dari 5.000 tahun. Sejarawan dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Restu Gunawan telah menjelaskan bagaimana proses kerja alam telah mengakibatkan terbentuknya Jakarta sebagai dataran endapan akibat proses pengikisan di wilayah vulkanik selatan (Bogor, Jawa Barat) dan pengendapan (sedimentasi) yang memperlebar wilayah endapan sehingga menjadi lebih landai.
Hal ini mengakibatkan pada waktu-waktu tertentu seperti pada puncak musim hujan, wilayah endapan secara periodik dilanda banjir. Hal ini mengakibatkan wilayah Jakarta rawan penyakit dan pencemaran.
Dahulu masyarakat tinggal di dekat tanggul sungai dan pantai karena untuk menghindari banjir dan mengakses air bersih. Tapi seiring bertambahnya jumlah penduduk, sebaran pemukiman kini tidak hanya di tanggul tetapi juga di wilayah rendah dan rawa, yang notabene lebih rawan penyakit dan pencemaran.
Perubahan sebaran kampung dan permukiman ini kemudian yang memunculkan masalah baru yaitu pencemaran sungai.
Perkembangan Jakarta dan pencemaran sungai
Perkembangan DKI Jakarta yang pesat sejak tahun 1960-an menyebabkan tingginya populasi Jakarta hingga kini mencapai lebih dari 10 juta jiwa.
Meningkatnya jumlah penduduk dan aktivitas di kota Jakarta menuntut adanya pelayanan publik dasar yang baik untuk bisa menunjang kehidupan kota. Namun, ketidakmampuan pemerintah dalam menyediakan prasarana yang layak mengakibatkan terjadinya penurunan kualitas lingkungan, seperti pencemaran sungai.
Pemerintah DKI Jakarta memutuskan bahwa tujuh dari 19 sungai dan laut di Jakarta diperuntukkan untuk air baku air minum dan perikanan. Namun, lebih dari 90% air limbah domestik saat ini dibuang ke sungai dan laut atau bawah tanah melalui septic tank tanpa diolah.
Penelitian dari Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) juga menunjukkan bahwa 96% air perkotaan di Jakarta dalam kondisi tercemar berat.
Sementara itu, laporan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) tentang pengelolaan air bersih dan limbah cair menunjukkan bahwa air limbah domestik dan air limbah perkantoran merupakan penyumbang terbesar terhadap pencemaran air di wilayah DKI Jakarta.
Kesimpulannya, sanitasi memang merupakan faktor penting dalam masalah pencemaran air.
Kondisi sanitasi Jakarta
Firman Lubis, Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia yang juga seorang penggiat sejarah Jakarta, dalam bukunya yang berjudul Jakarta 1950-1970 menceritakan dengan detail bagaimana kondisi sanitasi dan kebersihan Jakarta pada tahun 1950-an.
Pada permulaan 1950-an, penyediaan air bersih di rumah-rumah mewah cukup baik, air leding berasal dari mata air di sekitar Batutulis, Bogor, Jawa Barat.
Selain air leding, masyarakat khususnya yang tinggal di pemukiman elit hampir semuanya memiliki sumur. Di perkampungan, sumber air bersih pada umumnya dari sumur. Pada saat itu air sumur belum banyak terkontaminasi.
Yang menjadi masalah adalah tempat buang air besar atau WC. Di perkampungan, orang biasanya buang air sembarangan, misalnya di kali, selokan, atau empang ikan. Keadaan ini membuat sanitasi lingkungan menjadi semakin buruk.
Hasil survei kesehatan masyarakat pada 1957 menunjukkan kira-kira 275.000 orang Jakarta hidup dalam kondisi sanitasi buruk atau sekitar 16% dari total populasi Jakarta pada saat itu. Salah satu daerah dengan kondisi sanitasi yang buruk ditemukan di Tanah Tinggi di Jakarta Pusat yang merupakan permukiman kumuh tertua di Jakarta.
Namun lebih dari 50 tahun kemudian, riset dari Universitas Indonesia pada tahun 2013 menunjukkan Tanah Tinggi masih memiliki sanitasi yang buruk.
Hal ini dibuktikan dengan terbatasnya akses air bersih dan akses mandi cuci kakus (MCK). Pada tahun 2013, wilayah bantaran rel kereta Tanah Tinggi-Kramat dengan estimasi penduduk 1.000 jiwa hanya memiliki sembilan MCK umum yang dua di antaranya merupakan milik pemerintah hasil revitalisasi lingkungan kumuh yang didanai melalui Program Muhammad Husni Thamrin pada tahun 1960-an. Beberapa MCK bahkan tidak memiliki septic tank, dan pembuangan dialirkan langsung ke saluran air.
Sistem pipa pembuangan air limbah Jakarta
Masalah sanitasi Jakarta sangat berkaitan erat dengan ketersediaan Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) baik IPAL sistem sederhana maupun IPAL sistem pipa terpusat.
Perlu diketahui bahwa saat ini wilayah yang sudah terlayani sistem perpipaan di Jakarta baru meliputi kawasan bisnis di pusat Jakarta.
Wilayah cakupan yang dikelola PD PAL Jaya ini hanya seluas 1.370 hektar atau setara dengan 2,07% dari luas total wilayah DKI Jakarta. Selebihnya, pembuangan limbah masih dilakukan tanpa IPAL terpusat.
Solusi yang pernah dicoba dan masalahnya
Mengingat bahwa masalah infrastruktur sanitasi adalah permasalahan utama pencemaran sungai di Jakarta, beragam upaya sudah dilakukan untuk mengatasi masalah ini.
Untuk masalah sanitasi, pemerintah Jakarta sudah mencoba beberapa program seperti di antaranya: Program Muhammad Husni Thamrin, Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH), Buku Putih Sanitasi (BPS), Sanitasi Berbasis Masyarakat yang didukung oleh Islamic Development Bank, Rukun Warga (RW) Kumuh BPS dan Program Kota Tanpa Kumuh (Kotaku).
Namun hasil penelitian yang sedang dikerjakan salah satu dari kami menunjukkan program-program tersebut tidak efektif karena banyak yang tumpang tindih.
Jika dihitung per jenis program, terdapat 162 kelurahan untuk program RPPLH, 162 kelurahan untuk Program Buku Putih Sanitasi, 29 kelurahan untuk Sanimas IDB, 156 kelurahan untuk Program RW Kumuh, serta 115 kelurahan kumuh untuk program Kotaku.
Sementara itu untuk masalah pipa pembuangan limbah, perusahaan investasi internasional dari Jepang (JICA) mengembangkan studi drainase dan proyek pembuangan air limbah pada tahun 1991.
Namun, proyek ini dianggap tidak berhasil karena beberapa faktor. Salah satu penyebabnya adalah tidak sinkronnya rencana manajemen air limbah dengan perencanaan tata kota yang sudah ada. Perlu diketahui pula bahwa sistem perpipaan bukanlah proyek yang gampang, diperlukan biaya yang sangat mahal serta proses penanaman pipa di bawah tanah yang tidak mudah mengingat sudah banyaknya gedung-gedung tinggi di Jakarta.
Setelah itu, Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Basuki Hadimuljono sudah merencanakan proyek pembuangan air limbah Jakarta yang terbagi atas 14 zona berdasarkan kondisi geografis. Rencana pembangunan ini ditargetkan selesai pada tahun 2050 dengan perkiraan estimasi investasi mencapai lebih dari Rp 16 triliun untuk dua zona pada tahap 1. Proyek ini diharapkan dapat menambah cakupan luasan sistem perpipaan menjadi 20% dari total luas Jakarta. Namun, pelaksanaan proyek ini ditunda hingga 2019 atas permintaan BAPPENAS.
Butuh solusi yang terpadu
Masalah lingkungan tidak bisa diselesaikan secara parsial, apalagi secara instan. Diperlukan kerjasama yang baik antara masyarakat dan pemerintah sehingga bisa memberikan alternatif baru dalam penyelesaian masalah lingkungan yang runyam ini.
Misalnya daripada menunggu hingga 2050, sebetulnya kita bisa memulai dengan pembangunan IPAL sederhana atau IPAL komunal.
Beberapa proyek yang bisa dijadikan contoh adalah IPAL komunal di Sleman, Yogyakarta dan Martapura, Kalimantan Selatan serta IPAL komunal Malakasari, Duren Sawit, Jakarta Timur yang dikembangkan oleh masyarakat bersama dengan PD PAL Jaya.
Jika kita kembali pada kasus Kali Item, pemerintah harus menelisik sumber masalah pencemaran sungai sebelum bersikap reaktif dengan solusi yang tidak berkelanjutan karena tidak menjawab akar permasalahan.
Pembersihan sungai pada masa Ahok juga merupakan salah satu contoh pendekatan reaktif parsial. Meski dianggap berhasil dengan pembersihan sungainya, tetapi pendekatannya tidak berkelanjutan karena hanya sebatas membersihkan sungai di hilir dari sampah, tanpa menyelesaikan akar permasalahannya baik di hulu maupun hilir sungai.
Dari identifikasi masalah di atas, seharusnya pemerintah memecahkan masalah utama yaitu perbaikan sistem pembuangan air limbah di Jakarta guna memperbaiki sanitasi sekaligus mengatasi pencemaran air.
Kesadaran kolektif masyarakat, evaluasi dan pembenahan program-program pemerintah, serta kerja sama antar pemerintah daerah di hulu dan hilir sungai sangat dibutuhkan untuk mengatasi masalah pencemaran sungai yang selama ini ada.
Leave a Reply