BAB III PELAYANAN KESEHATAN SAAT BENCANA
3.3 Air Bersih dan Sanitasi
Seperti diketahui air merupakan kebutuhan utama bagi kehidupan, demikian juga dengan masyarakat pengungsi harus dapat terjangkau oleh ketersediaan air bersih yang memadai untuk memelihara kesehatannya. Bilamana air bersih dan sarana sanitasi telah tersedia, perlu dilakukan upaya pengawasan dan perbaikan kualitas air bersih dan sarana sanitasi.
Pada tahap awal kejadian bencana atau pengungsian ketersediaan air bersih perlu mendapat perhatian, karena tanpa adanya air bersih sangat berpengaruh terhadap kebersihan dan meningkatkan risiko terjadinya penularan penyakit seperti diare, typhus, scabies dan penyakit menular lainnya.
Tujuan utama perbaikan dan pengawasan kualitas air adalah untuk mencegah timbulnya risiko kesehatan akibat penggunaan air yang tidak memenuhi persyaratan.
1) Standar minimum kebutuhan air bersih
Prioritas pada hari pertama/awal kejadian bencana atau pengungsian kebutuhan air bersih yang harus disediakan bagi pengungsi adalah 5 liter/orang/hari. Jumlah ini dimaksudkan hanya untuk memenuhi kebutuhan minimal, seperti masak, makan dan minum.
Pada hari kedua dan seterusnya harus segera diupayakan untuk meningkatkan volume air sampai sekurang kurangnya 15–20 liter/orang/ hari.
Volume sebesar ini diperlukan untuk meme-nuhi kebutuhan minum, masak, mandi dan mencuci. Bilamana hal ini tidak terpenuhi, sangat besar potensi risiko terjadinya penularan penyakit, terutama penyakt penyakit berbasis lingkungan.
Bagi fasilitas pelayanan kesehatan dalam rangka melayani korban bencana
PUSAT PENANGGULANGAN KRISIS KESEHATAN – KEMENTERIAN KESEHATAN – 2011 81
dan pengungsian, volume air bersih yang perlu disediakan di Puskesmas atau rumah sakit adalah 50 liter/org/hari.
2) Sumber air bersih dan pengolahannya
Bila sumber air bersih yang digunakan untuk pengungsi berasal dari air permukaan (sungai, danau, laut, dan lain-lain), sumur gali, sumur bor, mata air dan sebagainya, perlu segera dilakukan pengamanan terhadap sumber-sumber air tersebut dari kemungkinan terjadinya pencemaran, misalnya dengan melakukan pemagaran ataupun pemasangan papan pengumuman dan dilakukan perbaikan kualitasnya.
Bila sumber air diperoleh dari PDAM atau sumber lain yang cukup jauh dengan tempat pengungsian, harus dilakukan pengangkutan dengan menggunakan mobil tangki air.
Untuk pengolahan dapat menggunakan alat penyuling air (water purifier/water treatment plant).
3) Beberapa cara pendistribusian air bersih berdasarkan sumbernya
Pendistribusian air permukaan (sungai dan danau) diperlukan pompa untuk memompa air ke tempat pengolahan air dan kemudian ke tangki penampungan air di tempat penampungan pengungsi.
Pendistribusian sumur gali bilamana diperlukan dapat dipasang pompa untuk menyalurkan air ke tangki penampungan air. Apabila menggunakan Sumur Pompa Tangan (SPT) bila lokasinya agak jauh dari tempat penampungan pengungsi harus disediakan alat pengangkut seperti gerobak air dan sebagainya.
Pendistribusian dengan sumber mata air perlu dibuat bak penampungan air untuk kemudian disalurkan dengan menggunakan pompa ke tangki air
4) Tangki penampungan air bersih di tempat pengungsian
Tempat penampungan air di lokasi pengungsi dapat berupa tangki air yang dilengkapi dengan kran air. Untuk mencegah terjadinya antrian yang panjang dari pengungsi yang akan mengambil air, perlu diperhatikan jarak tangki air dari tenda pengungsi minimum 30 meter dan maksimum 500 meter.
PUSAT PENANGGULANGAN KRISIS KESEHATAN – KEMENTERIAN KESEHATAN – 2011 82
Untuk keperluan penampungan air bagi kepentingan sehari hari keluarga pengungsi, sebaiknya setiap keluarga pengungsi disediakan tempat penampungan air keluarga dalam bentuk ember atau jerigen volume 20 liter.
5) Perbaikan dan Pengawasan Kualitas Air Bersih
Pada situasi bencana dan pengungsian umumnya sulit memperoleh air bersih yang sudah memenuhi persyaratan, oleh karena itu apabila air yang tersedia tidak memenuhi syarat, baik dari segi fisik maupun bakteriologis, perlu dilakukan:
buang atau singkirkan bahan pencemar;
lakukan penjernihan air secara cepat apabila tingkat kekeruhan air yang ada cukup tinggi;
lakukan desinfeksi terhadap air yang ada dengan menggunakan bahan bahan desinfektan untuk air;
periksa kadar sisa klor bilamana air dikirim dari PDAM;
lakukan pemeriksaan kualitas air secara berkala pada titik-titik distribusi.
a) Perbaikan Kualitas Air
Bilamana air yang tersedia tidak memenuhi syarat, baik dari segi fisik maupun bakteriologis dapat dilakukan upaya perbaikan kualitas air antara lain sebagai berikut:
(1) penjernihan air cepat, menggunakan:
(a) alumunium sulfat (tawas);
(b) poly alumunium chlorida (PAC).
Lazim disebut penjernih air cepat yaitu polimer dari garam alumunium chloride yang dipergunakan sebagai koagulan dalam proses penjernihan air sebagai pengganti alumunium sulfat. Kemasan PAC terdiri dari:
cairan yaitu koagulan yang berfungsi untuk menggumpalkan kotoran/ lumpur yang ada di dalam air;
bubuk putih yaitu kapur yang berfungsi untuk menetralisir pH.
PUSAT PENANGGULANGAN KRISIS KESEHATAN – KEMENTERIAN KESEHATAN – 2011 83
Penjernih air cepat, menggunakan:
1. Alumunium sulfat (tawas) Cara penggunaan:
a. sediakan air baku yang akan dijernihkan dalam ember 20 liter;
b. tuangkan/campuran tawas yang sudah digerus sebanyak ½ sendok teh dan langsung diaduk perlahan selama 5 menit sampai larutan merata;
c. diamkan selama 10–20 menit sampai terbentuk gumpalan/flok dari kotoran/lumpur dan biarkan mengendap. pisahkan bagian air yang jernih yang berada di atas endapan, atau gunakan selang plastik untuk mendapatkan air bersih yang siap digunakan;
d. bila akan digunakan untuk air minum agar terlebih dahulu direbus sampai mendidih atau didesinfeksi dengan aquatabs.
2. Poly Alumunium Chlorida (PAC)
Lazim disebut penjernih air cepat yaitu polimer dari garam alumunium chloride yang dipergunakan sebagai koagulan dalam proses penjernihan air sebagai pengganti alumunium sulfat.
Kemasan PAC terdiri dari:
a. cairan yaitu koagulan yang berfungsi untuk menggumpalkan kotoran/
lumpur yang ada di dalam air;
b. bubuk putih yaitu kapur yang berfungsi untuk menetralisir pH.
Cara penggunaan:
a. sediakan air baku yang akan dijernihkan dalam ember sebanyak 100 liter;
b. bila air baku tersebut ph nya rendah (asam), tuangkan kapur (kantung bubuk putih) terlebih dahulu agar ph air tersebut menjadi netral (pH=7).
bila ph air baku sudah netral tidak perlu digunakan lagi kapur;
c. tuangkan larutan pac (kantung a) kedalam ember yang berisi air lalu aduk perlahan lahan selama 5 menit sampai larutan tersebut merata;
d. setelah diaduk merata biarkan selama 5 – 10 menit sampai terbentuk gumpalan/flok flok dari kotoran/lumpur dan mengendap. pisahkan air yang jernih dari endapan atau gunakan selang plastik untuk mendapatkan air bersih yang siap digunakan;
e. bila akan digunakan sebagai air minm agar terlebih dahulu direbus sampai mendidih atau di desinfeksi dengan aquatabs.
PUSAT PENANGGULANGAN KRISIS KESEHATAN – KEMENTERIAN KESEHATAN – 2011 84
(2) desinfeksi air
Proses desinfeksi air dapat menggunakan:
(a) kaporit (Ca(OCl)2)
air yang telah dijernihkan dengan tawas atau PAC perlu dilakukan desinfeksi agar tidak mengandung kuman patogen. Bahan desinfektan untuk air yang umum digunakan adalah kaporit (70%
klor aktif);
kaporit adalah bahan kimia yang banyak digunakan untuk desinfeksi air karena murah, mudah didapat dan mudah dalam penggunaanya;
banyaknya kaporit yang dibutuhkan untuk desinfeksi 100 liter air untuk 1 KK (5 orang) dengan sisa klor 0,2 mg/liter adalah sebesar 71,43 mg/hari (72 mg/hari).
(b) aquatabs (aqua tablet)
sesuai namanya Aquatabs berbentuk tablet, setiap tablet aquatabs (8,5 mg) digunakan untuk mendesinfeksi 20 liter air bersih, dengan sisa klor yang dihasilkan 0,1 – 0,15 mg/liter;
setiap 1 KK (5 jiwa) dibutuhkan 5 tablet aquatabs per hari untuk mendesinfeksi 100 liter air bersih.
air rahmat, merupakan bahan desinfeksi untuk memperbaiki kualitas air bersih.
b) Pengawasan kualitas air
Pengawasan kualitas air dapat dibagi menjadi beberapa tahapan, antara lain:
(1) pada awal distribusi air
(a) air yang tidak dilakukan pengolahan awal, perlu dilakukan pengawasan mikrobiologi, tetapi untuk melihat secara visual tempatnya, cukup menilai ada tidaknya bahan pencemar disekitar sumber air yang digunakan;
PUSAT PENANGGULANGAN KRISIS KESEHATAN – KEMENTERIAN KESEHATAN – 2011 85 (b) Perlu dilakukan test kekeruhan air untuk menentukan perlu tidaknya
dilakukan pengolahan awal;
(c) Perlu dilakukan test pH air, karena untuk desinfeksi air memerlukan proses lebih lanjut bilamana pH air sangat tinggi (pH >5);
(d) Kadar klor harus tetap dipertahankan agar tetap 2 kali pada kadar klor di kran terakhir (rantai akhir), yaitu 0,6 – 1 mg/liter air;
(2) pada distribusi air (tahap penyaluran air), seperti di mobil tangki air perlu dilakukan pemeriksaan kadar sisa klor;
(3) pada akhir distribusi air, seperti di tangki penampungan air, bila air tidak mengandung sisa klor lagi perlu dilakukan pemeriksaan bakteri Coliform;
Pemeriksaan kualitas air secara berkala perlu dilakukan meliputi:
(1) sisa klor, pemeriksaan dilakukan beberapa kali sehari pada setiap tahapan distribusi untuk air yang melewati pengolahan;
(2) kekeruhan dan pH, pemeriksaan dilakukan mingguan atau bilamana terjadi perubahan cuaca, misalkan hujan;
(3) bakteri E. coli tinja, pemeriksaan dilakukan mingguan saat KLB diare maupun pada periode tanggap darurat dan pemeriksaan dilakukan bulanan pada situasi yang sudah stabil atau pada periode pasca bencana.
b. Pembuangan kotoran
Jika tidak terjadi pengungsian tetapi sarana yang ada tergenang air sehingga tidak dapat digunakan, maka harus disediakan jamban mobile atau jamban kolektif darurat dengan memanfaatkan drum atau bahan lain. Pada saat terjadi pengungsian maka langkah langkah yang diperlukan adalah sebagai berikut:
1) pada awal terjadinya pengungsian perlu dibuat jamban umum yang dapat menampung kebutuhan sejumlah pengungsi. Contoh jamban yang sederhana dan dapat disediakan dengan cepat adalah Jamban dengan galian parit , jamban kolektif (jamban jamak), Jamban kolektif dengan menggunakan drum bekas dan Jamban mobile (dapat dikuras). Untuk jamban mobile pemeliharaan dan pemanfaatannya, dilakukan kerjasama antara Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dan Dinas Kebersihan/Dinas Pekerjaan Umumn, terutama dalam pengurasan
PUSAT PENANGGULANGAN KRISIS KESEHATAN – KEMENTERIAN KESEHATAN – 2011 86
jamban bilamana perlu. Pada awal pengungsian 1 (satu) jamban dipakai oleh 50 – 100 org. Pemeliharaan terhadap jamban harus dilakukan dan diawasi secara ketat dan lakukan desinfeksi di area sekitar jamban dengan menggunakan kapur, lisol dan lain-lain;
2) pada hari hari berikutnya setelah masa emergency berakhir, pembangunan jamban darurat harus segera dilakukan dan 1 (satu) jamban disarankan dipakai tidak lebih dari 20 orang.
Jamban yang dibangun di lokasi pengungsi disarankan:
1) ada pemisahan peruntukannya khusus laki laki dan wanita;
2) lokasi maksimal 50 meter dari tenda pengungsi dan minimal 30 meter dari sumber air;
3) jarak minimal antara jamban terhadap lokasi sarana air bersih 10 meter;
4) konstruksi jamban harus kuat dan dilengkapi dengan tutup pada lubang jamban agar tidak menjadi tempat berkembang biak lalat, kecoa dan binatang pengganggu lainnya. Selain itu juga harus mempertimbangkan tinggi permukaan air tanah, musim, dan komposisi tanah;
5) pembuatan jamban harus disesuaikan dengankondisi sosial, budaya, kepercayaan dan kebiasaan dari para pengungsidengan memperhatikanJumlah pengungsi dan penyebarannyajugaketersediaan material lokal.
c. Sanitasi pengelolaan sampah
Komposisi sampah di tempat pengungsian pada umumnya terdiri dari sampah yang dihasilkan oleh pengungsi (domestic waste) dan kegiatan pelayanan kesehatan (medical waste).
Pengelolaan sampah di tempat penampungan pengungsi harus mendapat perhatian dari semua pihak, mengingat risiko yang dapat ditimbulkannya bilamana tidak dikelola dengan baik seperti munculnya lalat, tikus, bau, serta dapat mencemari sumber/persediaan air bersih yang ada. Dalam pengelolaan sampah di pengungsian, harus dilakukan kerjasama antara pengungsi, dinas kesehatan kabupaten/kota, dinas kebersihan kabupaten/kota untuk proses pengumpulan dan pengangkutan ke tempat pembuangan akhir sampah.
PUSAT PENANGGULANGAN KRISIS KESEHATAN – KEMENTERIAN KESEHATAN – 2011 87
Kegiatan yang dilakukan dalam upaya sanitasi pengelolaan sampah, antara lain:
1) pengumpulan sampah;
a) sampah yang dihasilkan harus ditampung pada tempat sampah keluarga atau sekelompok keluarga;
b) disarankan menggunakan tempat sampah yang dapat ditutup dan mudah dipindahkan/diangkat untuk menghindari lalat serta bau, untuk itu dapat digunakan potongan drum atau kantung plastik sampah ukuran 1 m x 0,6 m untuk 1 – 3 keluarga;
c) penempatan tempat sampah maksimum 15 meter dari tempat hunian;
d) sampah ditempat sampah tersebut maksimum 3(tiga) hari harus sudah diangkut ke tempat pembuangan akhir atau tempat pengumpulan sementara.
2) pengangkutan sampah;
Pengangkutan sampah dapat dilakukan dengan gerobak sampah atau dengan truk pengangkut sampah untuk diangkut ke tempat pembuangan akhir.
3) pembuangan akhir sampah;
Pembuangan akhir sampah dapat dilakukan dengan beberapa cara, seperti pembakaran, penimbunan dalam lubang galian atau parit dengan ukuran dalam 2 meter lebar 1,5 meter dan panjang 1 meter untuk keperluan 200 orang. Perlu diperhatikan bahwa lokasi pembuangan akhir harus jauh dari tempat hunian dan jarak minimal dari sumber air 10 meter.
4) pengawasan dan pengendalian vektor.
Berbagai jenis vektor seperti lalat, tikus serta nyamuk dapat berkembang dari pengelolaan sampah yang tidak tepat di lokasi pengungsi. Upaya yang dilakukan berupa:
a) pembuangan sampah/sisa makanan dengan baik;
b) bilamana diperlukan dapat menggunakan insektisida;
c) tetap menjaga kebersihan individu selama berada di lokasi pengungsi;
d) penyediaan sarana pembuangan air limbah (SPAL) dan pembuangan sampah yang baik.
PUSAT PENANGGULANGAN KRISIS KESEHATAN – KEMENTERIAN KESEHATAN – 2011 88
d. Pengawasan dan pengamanan makanan dan minuman
Dalam pengelolaan makanan dan minuman pada bencana (untuk konsumsi orang banyak), harus memperhatikan kaedah hygiene sanitasi makanan dan minuman (HSMM), untuk menghindari terjadinya penyakit bawaan makanan termasuk diare, disentri, korela, hepatitis A dan tifoid, atau keracunan makanan dan minuman, berdasarkan pedoman WHO Ensuring food safety in the aftermath of natural disasters antara lain yaitu:
1) semua bahan makanan dan makanan yang akan didistribusikan harus sesuai untuk konsumsi manusia baik dari segi gizi dan budaya;
2) makanan yang akan didistribusikan sebaiknya dalam bentuk kering dan penerima mengetahui cara menyiapkan makanan;
3) stok harus dicek secara teratur dan pisahkan stok yang rusak;
4) petugas yang menyiapkan makanan harus terlatih dalam higiene dan prinsip menyiapkan makanan secara aman;
5) petugas yang menyiapkan makanan sebaiknya tidak sedang sakit dengan gejala berikut : sakit kuning, diare, muntah, demam, nyeri tenggorok (dengan demam), lesi kulit terinfeksi atau keluarnya discharge dari telinga, mata atau hidung;
6) petugas kebersihan harus terlatih dalam menjaga dapur umum dan area sekitarnya tetap bersih;
7) air dan sabun disediakan untuk kebersihan personal;
8) makanan harus disimpan dalam wadah yang melindungi dari tikus, serangga atau hewan lainnya;
9) di daerah yang terkena banjir, makanan yang masih utuh harus dipindahkan ke tempat kering;
10) buanglah makanan kaleng yang rusak, atau bocor;
11) periksa semua makanan kering dari kerusakan fisik, tumbuhnya jamur dari sayuran, buah dan sereal kering;
12) air bersih untuk menyiapkan makanan; dan
13) sarana cuci tangan dan alat makan harus disiapkan.
Sebagai tambahan, WHO juga mengeluarkan panduan kunci keamanan pangan
PUSAT PENANGGULANGAN KRISIS KESEHATAN – KEMENTERIAN KESEHATAN – 2011 89
(WHO Five Keys for Safer Food) : 1) jaga kebersihan makanan;
2) pisahkan bahan mentah dan makanan yang sudah dimasak;
3) masak secara menyeluruh;
4) jaga makanan pada suhu aman;
5) gunakan air dan bahan mentah makanan yang aman.
Termasuk dalam hygiene dan sanitasi makanan adalah upaya untuk mengendalikan faktor makanan, orang, tempat, dan perlengkapannya yang dapat atau mungkin dapat menimbulkan penyakit atau gangguan kesehatan.
Leave a Reply