Anak-anak paling rentan terhadap efek dari sanitasi dan hygiene yang tidak memadai. Hal ini menempatkan mereka pada risiko yang lebih besar untuk diare, polio, dan konsekuensi kesehatan lainnya yang merugikan.
Hal tersebut disampaikan Menteri Kesehatan, dr. Nafsiah Mboi, Sp.A, MPH, dalam sambutannya pada acara East Asia Ministerial Conference on Sanitation and Hygiene III (EASAN III) di Nusa Dua, Bali (10/9).
Menkes mengatakan, sanitasi yang baik akan mengurangi kerugian ekonomi dan meningkatkan kehadiran murid di sekolah dasar, mengurangi prevalensi penyakit sehingga anak-anak dapat datang kesekolah, meningkatkan produktivitas orang dewasa, memberikan keamanan bagi para perempuan, serta mengurangi polusi dari sumber air.
Penelitian Bank Dunia pada dampak sanitasi yang buruk terhadap ekonomi di Asia Tenggara menyebabkan kerugian ekonomi minimal 9 milyar dolar per tahun. Sementara perilaku tidak sehat dan kurang higienis mengarah ke sumber air minum, sumber air rumah tangga, area aliran air, sungai dan lingkungan menjadi tercemar.
Sanitasi, hygiene dan perilaku hidup sehat akan mengurangi kejadian penyakit yang ditularkan melalui air. Peningkatan perilaku, seperti pembuangan kotoran yang aman, mencuci tangan dengan sabun, dan perluasan penyediaan sanitasi bisa membawa manfaat sosial, lingkungan dan ekonomi yang signifikan. Pentingnya sanitasi dan kesehatan karena penyakit menular dapat dicegah dengan air minum yang aman, sanitasi yang memadai dan perilaku higienis, kata Menkes.
Penelitian menunjukkan bahwa kebiasaan mencuci tangan dengan sabun adalah kebiasaan yang sederhana, dapat mencegah berbagai penyakit menular seperti diare, tipus, dan bahkan flu burung dan H1N1. Penyakit diare dapat dikurangi sampai 40 persen hanya dengan mencuci tangan dengan sabun. Jika kebiasaan mencuci tangan dengan sabun dikombinasikan dengan kegiatan lain seperti meninggalkan praktek buang air besar di tempat terbuka, membuang sampah di tempat yang tepat, mengelola air minum dengan benar, diare dapat dicegah sampai dengan 80-90%.
Laporan Monitoring bersama WHO dan UNICEF tahun 2012 menyebutkan, target MDG air minum telah tercapai. Lebih dari 2 miliar orang memperoleh akses ke sumber-sumber air yang lebih baik tahun 1990-2010. Sementara proporsi populasi global masih menggunakan sumber tidak baik diperkirakan hanya 11 persen. Hal tersebut adalah kurang dari setengah dari 24 persen perkiraan untuk tahun1990. Meskipun belum memungkinkan dunia akan memenuhi target sanitasi MDG pada tahun 2015, namun telah mengalami kemajuan yang menggembirakan sedang dibuat. Secara global, 63 persen dari populasi yang menggunakan fasilitas sanitasi yang layak, meningkat hampir 1,8 miliar orang sejak tahun 1990.
“Hal ini menunjukkan bahwa kita berada di atas 10 persen dari yang ‘on track’. Pada tingkat kemajuan saat ini kita akan mencapai 67 persen cakupan pada tahun 2015, lebih baik dari proyeksi sebelumnya tapi masih jauh dari 75 persen yang diperlukan untuk mencapai target,” tambah Menkes.
Lebih lanjut disampaikan, laporan TWG WSH “Sanitation in East Asia toward the MDG sanitation target and beyond” menunjukkan Asia Timur secara keseluruhan telah mencapai target sanitasi MDG. Menurut proyeksi cakupan sanitasi, target MDG dari 68% akan terlampaui sebesar 8 persen pada tahun 2015.
Diungkapkan oleh Menkes, kesenjangan dalam sanitasi pedesaan dan perkotaan bahkan lebih jelas dibandingkan dengan penyediaan air minum. Secara global, 79 persen dari penduduk kota menggunakan fasilitas sanitasi yang baik, dibandingkan dengan 47 persen dari penduduk pedesaan. Di daerah pedesaan, 1,8 miliar orang tidak memiliki akses ke sanitasi yang baik, yang mewakili 72 persen dari total global yang belum terlayani. Namun, banyak kemajuan telah dibuat di daerah pedesaan sejak tahun 1990: 724 juta penduduk pedesaan telah mendapatkan akses ke sanitasi yang baik, sementara jumlah orang yang belum terlayani di daerah perkotaan telah mencapai 183 juta.
Ada beberapa alasan sejumlah besar keluarga tidak memiliki akses terhadap fasilitas sanitasi dan air minum. Di antaranya adalah rendahnya tingkat pengetahuan masyarakat tentang pengaruh sanitasi dan air minum pada kesehatan. Selain itu, perilaku yang tidak mendukung perilaku bersih dan sehat, karena tingkat ekonomi masyarakat yang tidak mampu untuk membangun fasilitas sanitasi dan tidak memiliki akses terhadap air minum yang memadai.
Easan-3 di Bali (Indonesia) penting sebagai kelanjutan dari Easan-1 di Beppu (Jepang) dan Easan-2 Manila (Filipina) untuk merumuskan kemitraan sanitasi regional antara para pemangku kepentingan, pemerintah, sektor swasta, donor, perguruan tinggi dan masyarakat untuk mencapai target sanitasi MDG. Percepatan cakupan sanitasi bagi masyarakat di wilayah Asia Timur dapat dilakukan melalui peningkatan kerjasama antara negara-negara, terutama kerjasama antara negara-negara yang memiliki cakupan sanitasi universal dan negara-negara yang telah mencapai target MDGs, kata Menkes.
“Sesuai dengan konferensi Easan-3, Indonesia melakukan beberapa kegiatan sanitasi dan hygiene seperti Deklarasi Bebas BAB di sembarang tempat dan Pengembangan Strategi sanitasi Kota di berbagai kabupaten/kota dalam rangka mempercepat perbaikan sanitasi dan perilaku higienis”, ujar Menkes.
Di akhir sambutannya Menkes mendorong para peserta untuk berbagi pengalaman satu sama lain, membangun komitmen pribadi untuk sanitasi, dan membantu menciptakan dan mempertahankan kemauan di tingkat politik. Menkes berharap diskusi pada konferensi Easan-3 akan memberdayakan negara-negara Asia Timur untuk mengatasi tantangan berat dari sanitasi dan hygiene di wilayah itu.
Sumber : https://sehatnegeriku.kemkes.go.id/baca/rilis-media/20120910/215481/anak-anak-rentan-terhadap-efek-sanitasi/