Kini sudah seharusnya para pemangku kepentingan di Indonesia benar-benar mencermati bahwa pembangunan sanitasi di Indonesia masih relatif rendah. Hal itu terungkap pada Konferensi Sanitasi dan Air Minum Nasional (KSAN) 2013 di Jakarta, Rabu (30/10), bertema “Menuju Pelayanan Prima Air Minum dan Penyehatan Lingkungan Berbasis Masyarakat Melalui Penguatan Institusi Daerah dan Pelibatan Swasta Lokal”.
Pada konferensi yang diselenggarakan oleh World Bank Water Sanitation Program (WSP) itu terungkap, bahwa Indonesia berada di urutan kedua di dunia sebagai negara dengan sanitasi buruk. Menurut data yang dipublikasikan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), 63 juta penduduk Indonesia tidak memiliki toilet dan masih buang air besar (BAB) sembarangan di sungai, laut, atau di permukaan tanah.
Menurut data Tujuan Pembangunan Milenium Indonesia (MDG), pada 2010 cakupan pelayanan air minum di Indonesia baru mencapai 46 persen. Padahal, target di 2015, Indonesia harus sudah mencapai 68,87 persen. Sementara itu, target pemenuhan akses sanitasi layak harus mencapai 62,41 persen.
Memang, meski terdengar sepele bagi penduduk kota yang berkelimpahan pasokan air bersih, masalah seputar ketersediaan air bersih dan fasilitas sanitasi di daerah-daerah lain ternyata cukup parah. Karena itulah, perlu kerjasama berbagai pihak untuk segera memperbaiki hal ini.
“Sanitasi termasuk target MDG (Millenium Development Goal). Mungkin ini target tiga tahun lalu. Saat ini, akses kita sudah 57 persen. Ada optimisme, targetnya 62 persen. Informasi dua minggu lalu dari BPS, di kuartal pertama 2013 ternyata sanitasi kita maju satu persen. Akhir 2013 ini bukan tidak mungkin sampai empat persen. Jadi, saya optimistis,” kata Nugroho Tri Utomo, Direktur Perumahan dan Permukiman Bappernas, menanggapi kekhawatiran publik.
Menurut Nugroho, jika usaha ini tidak terhenti di tahun depan, maka target tentu akan terpenuhi. Sementara masalah kedua adalah masalah kesadaran. Nugroho bersikeras akan mendukung segala kegiatan yang mampu mendorong kesadaran penduduk Indonesia, lewat jalur pendidikan, agama, maupun ekonomi. Intinya, kesadaran harus didahulukan.
Ilustrasi sampah (Thinkstockphoto)
Menanggapi hal itu, Direktur Pengembangan Air Minum Kementerian Pekerjaan Umum Danny Sutjiono, dan Direktur Penyehatan Lingkungan Ditjan P2PL Kementerian Kesehatan Wilfred H. Purba mengaku sependapat dengan Nugroho.
Keduanya menyatakan bahwa bukan tidak ada usaha untuk menyediakan sanitasi memadai dan akses ke air bersih. Bahkan, masyarakat yang ada di daerah umumnya justeru mengedepankan konsep gotong royong untuk mengusahakan hal ini. Dengan kata lain, yang terjadi adalah sebuah proses.
Donny mengakui, sulit menjawab mengapa pendapatan Indonesia yang cukup ternyata belum mampu menyelesaikan masalah sanitasi. Namun, kesadaran semua pihak perlu ditumbuhkan lebih banyak lagi untuk menyelesaikan masalah tersebut.
Sementara Wilfred juga mengutarakan, bahwa dalam menumbuhkan kesadaran semua penduduk Indonesia, ada beberapa tantangan yang harus dihadapi. Pertama, orang Indonesia cenderung lebih senang “mengobati”. Kegiatan promotif dan preventif memakan waktu lebih lama, maka tidak disukai oleh orang Indonesia.
“Yang kedua, tantangan kita yang lain biayanya meningkat, baik di tingkat pusat maupun daerah. Yang ketiga, orang sakit bisa karena beberapa alasan. Bisa karena genetis, sulitnya akses ke kesehatan, dan karena perilaku,” ujarnya.
Leave a Reply