Krisis air di Pulau Jawa semakin terasa. Pulau yang luas daratannya hanya tujuh persen dari seluruh luas daratan Indonesia memang kian padat. Sekitar 65 persen dari seluruh penduduk menetap di sana. Sementara ketersediaan air di pulau ini hanya 4,5 persen dari total potensi air di Indonesia.
Kondisi itu kian parah ketika sungai-sungai yang menjadi sumber air bagi warga mulai terusik. Kerusakan sungai pun terjadi, karena di situ lebih dominan menjadi aliran limbah dari rumah tangga, dan industri. Kualitas air pun ikut terpuruk.
Untuk parameter biologi, fecal coli dan total coliform, dapat dikatakan bahwa mayoritas sungai yang terdapat di kota padat penduduk seperti di Pulau Jawa cenderung lebih tercemar oleh bakteri tersebut, seperti di Sungai Progo (Jateng dan Yogyakarta), Sungai Ciliwung (Jakarta), dan Sungai Citarum (Jawa Barat).
Sebuah studi yang dilansir pada 2004 oleh Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) menyebutkan hampir sebagian besar sumur dari 48 sumur yang dipantau di Jakarta telah mengandung bakteri coliform dan fecal coli. Persentase sumur yang telah melebihi baku mutu untuk parameter coliform di seluruh Jakarta cukup tinggi, yaitu mencapai 63 persen pada bulan Juni dan 67 persen pada bulan Oktober 2004.
Kualitas besi (Fe) dari air tanah di wilayah Jakarta terlihat semakin meningkat, di mana beberapa sumur memiliki konsentrasi Fe melebihi baku mutu. Persentase jumlah sumur yang melebihi baku mutu mangan (Mn) di seluruh DKI Jakarta secara umum sebesar 27 persen pada bulan Juni dan meningkat pada bulan Oktober sebesar 33 persen. Untuk parameter detergen, persentase jumlah sumur yang melebihi baku mutu di DKI Jakarta sebesar 29 persen pada bulan Juni dan meningkat menjadi 46 persen pada bulan Oktober. Diduga peningkatan ini terjadi karena memasuki musim hujan.
Umumnya, air sumur yang didapat berwarna kuning dan agak berbau. Ditambah lagi, hanya 400 dari sekitar 4,000 industri di Jakarta yang mengelola limbahnya. Tidak ada sistem sanitasi di Jakarta sehingga air limbah seluruhnya dibuang ke sungai. Hanya sekitar dua persen saja air limbah di Jakarta mengalir ke instalasi pengolah air limbah, yang umumnya hanya melayani gedung perkantoran dan sejumlah perumahan. Dan sekitar 39 persen warga Jakarta memiliki septic tank, dan 20 persen menggunakan lubang WC biasa.
MCK Tak Memadai
Menurut Direktur Pemukiman Perumahan, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Basah Hernowo, di Jakarta, beberapa waktu lalu, sejumlah fasilitas sanitasi seperti mandi, cuci, kakus (MCK), truk tinja, saluran air limbah (sewerage system), dan Instalasi Pengolahan Lumpur Tinja (IPLT), sudah banyak yang tidak memadai. Kasus ini juga terdapat di wilayah Jakarta Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek).
Dari penelusuran di sejumlah perkotaan, termasuk Jakarta dan sekitarnya, sebanyak 98 persen rumah tangga memiliki satu kamar mandi plus WC. Namun belum tentu mereka menggunakannya, sebab masih terdapat warga yang membuang hajat di sungai, kebun atau area sawah meski di rumahnya terdapat WC.
Berdasar Survei Sosial Ekonomi Nasional, baru sekitar 55 persen penduduk Indonesia yang mempunyai akses sanitasi. Dari angka tersebut, Indonesia menargetkan mengakses 72,5 persen penduduk pada 2015.
Kasubdit Air Minum dan Air Limbah Bappenas, Nugroho Tri Utomo, menambahkan, dari keseluruhan air limbah yang masuk ke selokan atau menjadi air tanah, sekitar 40-50 persen merupakan limbah rumah tangga (domestik).
Kondisi ini diperparah dengan kondisi sejumlah septic tank rumah tangga yang tidak dibangun dengan benar, sehingga sebagian tinja meresap ke tanah dan tercampur dengan air tanah. Sementara, jarak septic tank dengan air tanah yang disedot untuk kebutuhan harian sangat dekat. ”Tingginya populasi septic tank membuat kualitas air tanah menurun, dan berisiko menimbulkan penyakit akut,” ujarnya. Karena minimnya fasilitas sanitasi itulah, Basah menuding kasus penyakit menular mulai bermunculan. Mulai dari diare, demam berdarah hingga polio. Imbasnya lebih jauh, mengurangi minat investor berinvestasi ke Indonesia.
Hasil penelitian juga menemukan, sekitar 70 persen air tanah di daerah perkotaan tercemar bakteri tinja. Ironisnya, sebagian penduduk perkotaan masih menggunakan air tanah untuk memenuhi kebutuhan harian. ‘
‘Saya menilai ini karena dampak desentralisasi yang tidak tepat. Pemerintah daerah memberikan anggaran yang minim bagi pengelolaan sanitasi, namun efek negatif secara ekonomi sangat besar, yakni penolakan investor datang ke daerah tersebut,” ujarnya.
Ditambahkan Nugroho, diperlukan sistem pengolahan tinja yang terpadu, karena dengan adanya sistem ini, spetic tank tidak dibutuhkan lagi sehingga potensi pencemaran air tanah akan berkurang. Sewerage system terdiri dari sambungan rumah, saluran pengumpul, dan instalasi pengolahan. Sistem ini dapat dijumpai di kawasan permukiman modern.
Layanan PAM
Mengenai pengelolaan penyediaan air, belum ada manajemen yang berhasil memenuhi pelayanan air untuk seluruh warga di satu kota. Saat ini hanya sekitar 40 persen warga di perkotaan dan kurang dari 30 persen warga pedesaaan. yang tersambung dengan jaringan air minum (PAM). Air minum langsung (potabel water) tidak dibangun di Indonesia, sehingga air dari keran harus dimasak terlebih dahulu. Untuk mereka yang tidak terlayani oleh jaringan pipa air minum, sumber air minum berasal dari air tanah, air kemasan, atau dari penjual air keliling. Pengambilan air tanah ini menjadi masalah tersendiri.
Dari sisi pelayanan, pascaprivatisasi kepada kedua mitra asing, tidak mengalami perbaikan dan peningkatan yang berarti. Ini terlihat dari sejumlah indikator utama kualitas pelayanan air minum. Target pertambahan pelanggan dari tahun 1998-2000 tidak mencapai ketentuan kontrak, dan lebih rendah dibanding pertumbuhan sebelumnya oleh PAM Jaya. Target teknis pemakaian air tidak tercapai, tetap di bawah kinerja PAM Jaya.
Tingkat kebocoran pipa juga tidak sesuai dengan klausul dalam kontrak dan harapan masyarakat. Tingkat kebocoran pada saat dikelola PAM Jaya sebesar 53 persen, kini berkisar pada angka 48 persen. Namun, untuk menekan tingkat kebocoran (non revenue water) kedua mitra asing hanya melakukan pembatasan pengoperasian mesin pompa yang terdapat di setiap instalasi. Dampaknya sejumlah daerah dalam jangkauan pelayanannya malah mengalami kekurangan air.
Selain itu kritikan terhadap harga juga masih mendominasi persepsi masyarakat terhadap perusahaan air yang memenuhdi pelayan air minum di hampir semua kota di Indonesia. Tarif air di Jakarta rata-rata Rp 5.000 per meter kubik. Harga ini termasuk yang paling tinggi di Indonesia. Tarif tinggi itu lebih karena kewajiban membayar hutang, tidak untuk meningkatkan pelayanan.
Tetapi, di Amerika Serikat, negara yang pada umumnya memberikan tingkat layanan yang tinggi, orang pun masih tetap mengeluh tentang rekening air dan layanan pembuangan limbah air meskipun keluhan itu tidak terkait masalah antara jasa yang mereka terima dengan uang yang mereka bayarkan, atau tanpa membandingkan harga layanan ini dengan komoditas lain.
Di wilayah yang dilayani oleh Komisi Sanitasi Wilayah Kota Wahington DC, dan daerah pinggirannya, biaya untuk pasokan air bagi rumah tangga sedang adalah US$ 2,51 untuk 3.800 liter, sedangkan pembuangan dan pengolahan limbah cair hanya US$ 0,90 per ton.
Sumber : http://www.ampl.or.id/digilib/read/jakarta-kota-tanpa-sistem-sanitasi/22212
Leave a Reply