Sampah, limbah, dan akses sanitasi menjadi poin utama dalam perhitungan ketersediaan perumahan layak huni. Daerah yang tak memiliki penanganan yang baik terhadap ketiga hal tersebut, menjadikannya masuk dalam kategori belum layak. Oleh karena itu dialog tersebut mengangkat tema Public Spaces For All. ”Ini sebuah seruan untuk mengampanyekan kesadaran dan ketersediaan terhadap sanitasi,” ujar Ketua Himpunan Mahasiswa Teknik Lingkunan (HMTL) Rizali Afandi dalam sambutannya di Auditorium Pascasarjana ITS.
Fakta di lapangan menyebutkan, masyarakat cenderung merasa nyaman dengan apa yang mereka huni sekarang. Padahal, ditinjau dari segi higienitas dari kacamata publik pun sudah jelas dengan kondisi sanitasi yang buruk tersebut akan memicu timbulnya berbagai penyakit. Sehingga, menurut Rektor ITS, Prof Ir Joni Hermana MScES PhD, hal ini hanya mengenai perbedaan persepsi. ”Mereka merasa aman-aman saja, fine-fine saja, nah inilah saatnya kita memberikan pelajaran kepada mereka,” ucap Joni.
Lebih lanjut, Joni menyebutkan, tercatat masyarakat di Surabaya mengeluarkan kurang lebih 1200 ton sampah per hari. Tanpa ada rasa bersalah, imbuhnya, masyarakat menganggap hal itu biasa. Padahal, lingkungan tercemar akan mengeluarkan biaya yang lebih besar dalam penanganannya jika terus dibiarkan dalam jangka waktu lama. ”Ini nantinya berujung pada nilai jual kawasan yang turun, dilihat dari skala kota pun turis-turis tidak akan mau datang berkunjung,” katanya pasti.
Farid Efendi, utusan Pemeritah Kabupaten Gresik yang hadir juga mengutarakan keluh kesahnya. Dijelaskan oleh Farid, Gresik sebenarnya sudah merencanakan dokumen pelaksanan lima tahun ke depan. Adapun kendalanya saat di lapangan adalah perihal sosialisasi ke masyarakat yang menyebabkan implementasi di lapangan tertunda. ”Kami berharap peran dari perguruan tinggi dan mahasiswa, terutama yang akan lulus dan Kuliah Kerja Nyata (KKN) agar bisa terjun langsung ke lapangan, misalnya ke Gresik,” harapnya.
Hal tersebut sejalan dengan apa yang pemerintah telah programkan. Urusan sanitasi menjadi kendala pemerintah daerah dari provinsi, kabupaten, maupun kota. Karena menurut Kepala Dinas Pekerjaan Umum Cipta Karya dan Tata Ruang Provinsi Jatim, Dr Ir Gentur Prihantono SP MT, jika dibebankan masyarakat, mereka tidak akan mampu. ”Masyarakat itu gak mau ngurus kotoran. Dengan APBN 120 Milyar, itu sudah lebih dari cukup, masyarakat tidak didiamkan tapi diajak dan diedukasi juga,” ungkapnya.
Sehingga, lanjutnya, perbaikan sanitasi tidak sepenuhnya menjadi tanggung jawab pemerintah melainkan para akademisi dan mahasiswa agar bisa terlibat dalam pembangunan dan sanitasi. ”Kampanye mengenai sanitasi ini harus terus dilakukan, sehingga mereka akan merasa risih jika membuang kotoran di sembarang tempat. Satu orang membuang, yang lain kena,” tandasnya.
Hal senada juga diungkapkan Duta Sanitasi Provinsi Jawa Timur, Carena Learns Prasetyo berharap agar semua orang ikut berperan dalam peningkatan sanitasi dan lingkungan. ”Dengan melakukan hal kecil, sederhana dan kontinu, kita bisa turut menyehatkan lingkungan dan masyarakat,” sahutnya tegas. (owi/n4/mis)
Sumber : https://www.its.ac.id/news/2015/11/02/mahasiswa-harus-berperan-dalam-perbaikan-sanitasi/