Siang itu Mamah Siti Rohimah (30) sedang memakai kompor yang terbuat dari kaleng biskuit dengan bahan bakar serbuk gergaji di dapur rumahnya.
Warga Desa Bangunsirna, Kecamatan Baregbeg, Kabupaten Ciamis, itu hidup bersama Tatang Kartang (40), suaminya, dan Andri Nurdiansyah (7), putra semata wayangnya.
Mereka tinggal di rumah yang terbuat dari kayu dan bilik bambu. Satu-satunya bagian rumah yang terbuat dari tembok hanyalah lantai teras depan. Ruangan dalam rumah panggung itu beralaskan kayu, sementara lantai dapur hanya tanah.
Di bawah rumah panggung menjadi tempat hidup ayam yang dipelihara Mamah. Oleh karena itu, sehari-hari dapur rumah Mamah ramai pula oleh ayam yang menemaninya memasak.
Kompor dari kaleng biskuit milik Mamah berada tepat di atas mulut sumur. Separuh lubang sumur tersebut berada tepat di bawah bilik bambu yang menjadi dinding rumah. Jika dilihat dari luar, sumur tersebut akan tampak seolah-olah berada tepat di bawah rumah panggung Mamah.
“Kalau mencuci piring dan baju, juga mandi, saya lakukan di sini,” kata Mamah sambil menunjuk sebuah tempat berukuran sekitar 4 meter persegi di dekat sumur yang hanya dibatasi karung bekas.
Ia pun melanjutkan penuturannya. “Kalau buang air besar ya di sungai saja, dekat kok tempatnya. Tuh, di belakang rumah, paling jaraknya cuma 5 meter dari rumah,” ujar anak terakhir dari tujuh bersaudara itu seraya menunjuk Sungai Cileueur yang berada tepat di belakang rumahnya.
Membuang hajat di sungai terpaksa dilakukan Mamah karena ia tidak memiliki cukup biaya untuk membuat sebuah jamban yang layak. Ia dan keluarganya pun akhirnya memanfaatkan aliran Sungai Cileueur sebagai jamban sekaligus septic tank mereka.
Jika sedang musim hujan, Mamah biasanya buang air besar di kolam ikan pinggir rumahnya.
Karena kolam pun kering pada musim kemarau lalu, Mamah akhirnya buang air besar di sungai. Ia mengatakan,”Kalau ditanya nyaman buang air besar di mana, ya nyaman di sungai. Di situ saya buang air besar, kotorannya bisa langsung terbawa air. Dan di situ pula saya bersih-bersih. Kalau di kolam kan cuma bisa buang saja, bersih-bersihnya ya di dekat sumur,” kata Mamah sambil tertawa.
Karena sehari-hari membuang hajat di sungai, situasi genting pun kadang dialami Mamah dan keluarga. Ketika tiba-tiba malam hari perut Mamah mulas dan ingin buang hajat, ia terpaksa pergi ke sungai ditemani suaminya yang membawakan lampu minyak tanah sebagai penerangan.
Maklum saja, rumah mereka yang berjarak sekitar 3 kilometer dari pusat kota Kabupaten Ciamis itu masih belum teraliri listrik. Begitu pun dengan rumah Numeh, ibu Mamah, yang berada tepat di depan rumah Mamah.
Sumber : http://www.ampl.or.id/digilib/read/mau-tak-mau-kini-sungaiku-telah-berubah-menjadi-jambanku/22222
Leave a Reply