Dibanding pembangunan untuk akses air, pengembangan sistem sanitasi di Indonesia belum terlalu maju. Sejak tahun 2005, memang sudah ada beberapa departemen berwenang yang bertanggung jawab soal sanitasi. Namun, tidak ada kerja sama yang terjalin di antara mereka.
Ini menyebabkan akses sanitasi di Indonesia tidak mengalami perkembangan. Menurut Foort Bustraan dari Indonesia Urban Water, Sanitation, and Hygiene (IUWASH), sanitasi tidak terlalu dipentingkan karena tidak kasat mata.
Semua sistem sanitasi yang diketahui di Indonesia, langsung masuk ke tanah. Bisa bercampur dengan air tanah dan akhirnya memengaruhi kesehatan masyarakat.
“Kalau ada masalah sampah, langsung diatasi karena sampah yang menumpuk terlihat. Tapi kalau sanitasi, semua masuk ke tanah dan tidak nampak,” ujar Bustraan saat ditemui dalam lokakarya “Langkah Adaptasi Perubahan Iklim Untuk Menjamin Suplai Air Baku PDAM,” di Jakarta, Rabu (16/1).
Masalah lain dari sanitasi di Indonesia, dalam hal ini jamban, ternyata belum dimiliki seluruh lapisan masyarakat. Data dari Water and Sanitation Program (WSP) menyebut, 60 juta penduduk Indonesia masih buang air besar sembarangan.
WHO-UNICEF juga melepas data, sebanyak 1,1miliar orang masih buang air besar di alam terbuka pada tahun 2010. India, Indonesia, Cina, Etiopia, Pakistan, Nigeria, Sudan, Nepal, Brasil, Nigeria, dan Bangladesh, menjadi rumah dari 81 persen orang yang buang air besar di alam terbuka itu .
Untuk itu Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM), Bank Syariah Mandiri (BSM), dan IUWASH mencoba memberi bantuan berupa pembiayaan mikro untuk akses sanitasi. Saat ini, sekelompok warga di Probolinggo, Jawa timur, telah membentuk koperasi atas usaha sendiri dan menyediakan pembiayaan mikro untuk pembangunan 83 jamban sehat bagi warga setempat.
Upaya serupa di Mojokerto telah menghasilkan 55 jamban sehat. Swadaya warga di kedua kota tersebut memberikan pilihan jamban lengkap dengan tangki septik seharga Rp750 ribu hingga Rp1,1 juta yang diangsur sebesar Rp15 ribu sampai 20 ribu setiap minggu selama satu tahun.
Dikatakan Direktur Utama BSM Yuslam Fauzi, pihaknya memiliki konsep pembiayaan mikro yang berbeda dengan pembiayaan bank konvensional dan lembaga pembiyaan mikro lain. “BSM menerapkan murabahah, yaitu jual beli dengan sistem margin. Sedangkan pembiayaan mikro konvensional menerapkan sistem bunga,” ujar Yuslam.
Disadari atau tidak, sanitasi menjadi salah satu faktor penting untuk mencapai Sasaran Pembangunan Milenium (MDGs) 2015. Menurut Nugroho Tri Utomo, Direktur Pemukiman dan Perumahan Bappenas, jangkauan Indonesia untuk layanan sanitasi yang lebih baik sudah mencapai 55,60 persen dari target MDGs sebesar 62,41 persen.
Leave a Reply