Seberapa besar kepedulian kita terhadap permasalahan sanitasi dan air bersih? Berikut adalah gambaran sanitasi dan air bersih kita, terutama kondisi di lingkungan permukiman kita masing-masing. Tumpukan sampah yang menggunung kerap kita jumpai baik di pinggir saluran drainase atau di bantaran sungai. Ironisnya lagi sampah tersebut menumpuk justru pada tempat yang jelas-jelas dilarang membuang sampah. Kemudian tempat pewadahan sampah yang ada di lingkungan rumah tangga ternyata juga (sebagian besar) masih belum dipilah antara sampah basah (organik) dan sampah kering (anorganik) sehingga mereka tercampur menjadi satu. Selain menyulitkan pengolahannya, sampah yang tercampur menjadi satu antara sampah kering dan basah tersebut akan menimbulkan bau tak sedap dan berpotensi menjadi sarang lalat dan penyakit.
Tangki septik yang berada di lingkungan perumahan yang tanpa disadari telah bertahun-tahun tidak pernah dikuras atau disedot. Terpikirkah kita kondisi tersebut dapat menggambarkan indikasi kemungkinan terjadi kebocoran atau rembesan air limbah (tinja) ke dalam tanah, karena idealnya periode waktu pengurasan untuk tangki septik rumah tangga umumnya adalah antara 2 hingga 3 tahun? Lantas kemana larinya limbah tinja tersebut? Terpikirkah kita atas kemungkinan limbah tersebut merembes ke sumber air tanah kita dan mungkin tetangga sebelah kita?
Saluran drainase depan rumah kita (yang lazim kita sebut saluran got) dimana airnya berwarna keruh, hitam dan bau tidak sedap adalah gambaran bahwa masih tercampurnya saluran pembuangan air kotor yang berasal dari buangan air kotor (grey water) rumah tangga dan saluran air hujan. Kondisi ini mengakibatkan saluran got tersebut akan membawa campuran air hujan dan air kotor yang selanjutnya dialirkan ke anak sungai ataupun ke sungai. Lebih parah lagi, banyak perumahan kumuh yang tidak mempunyai saluran buangan sama sekali sehingga mereka membuangnya langsung ke badan air.
Demikian halnya dengan air baku untuk air bersih dan minum dimana air adalah merupakan unsur utama kehidupan yang seharusnya diperlakukan sebagai bahan yang sangat bernilai, dimanfaatkan secara bijak, dan dijaga terhadap cemaran. Kenyataannya air selalu dihamburkan, dicemari, dan disia-siakan. Kecenderungan yang terjadi adalah berkurangnya ketersediaan air bersih itu dari hari ke hari. Semakin meningkatnya populasi manusia, semakin besar pula kebutuhan akan air minum. Sehingga secara relatif, ketersediaan air bersih tersebut berkurang. Bahkan menurut pendapat beberapa ahli, pada suatu saat nanti, akan terjadi ‘pertarungan’ untuk memperebutkan air bersih ini. Pengambilan air bawah tanah saat ini juga sudah dalam tahap mengkhawatirkan.
Diperkirakan, 10 tahun mendatang, warga akan kesulitan mendapatkan air bersih karena tidak ketatnya pengawasan pengambilan air tanah. Idealnya, aktivitas pengambilan air bawah tanah harus diimbangi dengan pembuatan sumur resapan air. Hal ini untuk menjaga keseimbangan air melalui mekanisme penampungan air hujan agar tidak langsung terbuang ke sungai sehingga persediaan air baku tidak menyusut secara drastis.
Pengambilan air bawah tanah yang berlebihan saat ini telah menyebabkan permukaan tanah di beberapa kawasan di Jakarta menurun drastis setiap tahun. Penurunan itu antara lain diduga karena beban di atas permukaan semakin besar dan makin banyak warga yang menyedot air tanah secara besar-besaran. Penurunan permukaan tanah ini ke depan selain dapat menyebabkan meluasnya banjir akibat areal cekungan yang lebih luas, dapat juga menyebabkan kerusakan infrastruktur seperti contoh jalan yang retak, serta bangunan yang rusak karena pondasi bergeser. Selain itu, pengambilan air tanah secara berlebihan menyebabkan permukaan air tanah turun sehingga sumur kering.
Samsuhadi (Dosen Luar Biasa Jurusan Teknik Lingkungan Universitas Trisakti) pada 2005 pernah meneliti, jika pada 2025 penduduk Jakarta diperkirakan mencapai 27 juta dan setiap orang membutuhkan air bersih 200 liter per hari (termasuk kebutuhan untuk industri), maka kebutuhan air bersih akan mencapai 2.000 juta meter kubik. Sementara pasokan PDAM diperkirakan hanya 645 juta meter kubik, sehingga kebutuhan air tanah akan mencapai 1,355 juta meter kubik. Pada 2002 diperkirakan ketersediaan air tanah hanya 1.230-1.590 juta meter kubik. Angka ini akan terus berkurang jika tidak dilakukan upaya pelestarian lingkungan di sekitar wilayah Jakarta, sehingga pada 2025 warga Jakarta akan benar-benar kesulitan mendapat air bersih.
Seberapa banyak dari kita yang melihat kondisi tersebut diatas, atau mungkin masih ada di antara kita, di lingkungan rumah kita masing-masing yang mengalami kondisi tersebut diatas? Lantas apa peduli kita? Apakah hal ini akan kita biarkan begitu saja tanpa ada upaya kita untuk merubah dan memperbaikinya? Sementara kita terus gencar mengkampanyekan pola-pola hidup bersih dan sehat ke pelosok negeri ini? Upaya besar dan gencar memang sudah kita lakukan dengan membangun prasarana sarana baik air bersih (air minum) serta sanitasi di seluruh pelosok negeri ini, namun tanpa bermaksud mengecilkan arti hasil-hasil pembangunan dan prestasi yang telah dicapai selama ini, alangkah naifnya jika orang lain telah melakukan pola-pola yang kita sosialisasikan namun ternyata kita dan lingkungan rumah kita sendiri masih belum menerapkannya.
Bertepatan dengan diselenggarakannya KSAN 2013 pada tanggal 29 – 31 Oktober di Balai Kartini, Jakarta yang mengangkat tema “Sanitasi dan Air Minum untuk Indonesia Lebih Sehat: Bangun Sanitasi, Jangkau Air Minum”, tersebut mari kita jadikan acara ini sebagai momentum titik tolak untuk melakukan perbaikan dari skala paling kecil melalui peran aktif dari diri kita sendiri dan lingkungan rumah masing-masing, semua semata-mata untuk air bersih dan sanitasi yang lebih baik, untuk kehidupan kita yang lebih sehat.
Leave a Reply