Lebih dari dua setengah tahun setelah bencana, Kiki Mariam, 36, masih teringat kengerian dan kekacauan akibat banjir bandang setinggi dua meter. Banjir tersebut melanda 3.000 penduduk yang tinggal di daerah kumuh sepanjang tepi sungai di Kota Bima.
“Saya takut sekali. Banjir itu datang dengan sangat mendadak. Semua barang kami hanyut terbawa air,” kata Kiki. Dia mengenang bagaimana dia bergegas meraih putranya, Amin, yang saat itu belum genap berumur 2 tahun, dan berlari keluar tepat saat tempat tinggalnya luluh lantak.
Juni lalu, Kiki, Amin, dan Robitan, suami Kiki, pindah ke unit perumahan pemerintah yang baru dibangun. Dengan luas 28 meter persegi, rumah berlantai satu itu sebetulnya kecil, dan Kiki serta keluarga harus membersihkan segalanya ketika pertama kali menempatinya. Namun, rumah itu punya satu ruang tengah yang luas dan dua kamar tidur yang salah satunya disulap menjadi ruang bermain. Di situlah Amin dan teman-temannya bebas bermain di lantai yang licin mengilap, saling berebut mainan, serta berlarian keluar masuk sambil tertawa.
“Saya menyukai rumah ini karena suasana sekitarnya tenang dan lingkungannya bagus. Saya tidak perlu takut terkena banjir,” kata Kiki tentang rumahnya yang berwarna biru terang dengan interior hijau. Saat ditemui, ia sedang berdiri di luar rumahnya, di jalan yang baru diaspal. “Amin juga senang di sini karena punya banyak teman dan sekarang nyaman baginya untuk bermain-main. Sebentar lagi juga akan dibangun sebuah TK.”
Keluarga Kiki termasuk satu dari 670.000 keluarga Indonesia yang mendapat manfaat dari proyek pembangunan perkotaan yang dibiayai oleh Asian Development Bank (ADB). Sejak 2014, Proyek Perbaikan Kawasan dan Pemukiman, atau NUSP (Neighborhood Upgrading and Shelter Project) bekerja sama dengan pemerintah pusat dan daerah di 20 kota di seluruh Indonesia, untuk meningkatkan pembangunan infrastruktur dan penyediaan layanan publik bagi masyarakat prasejahtera. Area yang telah dibangun mencapai 4.000 hektar.
Proyek partisipasi masyarakat yang dipimpin pemerintah
Dengan menggunakan pendekatan partisipatif bagi masyarakat, fokus proyek ini adalah mendukung upaya pemerintah mencapai pertumbuhan inklusif dengan meningkatkan pembangunan infrastruktur bagi masyarakat prasejahtera, sekaligus mempermudah mereka mendapatkan air bersih dan mengakses sanitasi. ADB juga memberi bantuan teknis untuk meningkatkan kemampuan lembaga pemerintah dalam merencanakan dan mengelola proyek pembangunan perkotaan yang sesuai kebutuhan masyarakat prasejahtera setempat. Sebuah kemitraan publik dan swasta telah dibentuk untuk menyediakan permukiman baru bagi keluarga prasejahtera.
“Dengan menggunakan pendekatan partisipatif bagi masyarakat, fokus proyek ini adalah mendukung upaya pemerintah mencapai pertumbuhan inklusif dengan meningkatkan pembangunan infrastruktur bagi masyarakat prasejahtera.”
“Proyek ini berhasil karena menyediakan investasi yang sangat dibutuhkan masyarakat kelompok berpenghasilan rendah, dalam bentuk perumahan dengan harga yang terjangkau,” kata Vijay Padmanabhan, Direktur ADB untuk Pengembangan Kota dan Perairan di Asia Tenggara. “Proyek ini juga membantu meningkatkan kapasitas pemerintah dalam hal perencanaan perumahan baru sekaligus memperkuat standar bangunan yang didirikan. Infrastruktur yang berkualitas, termasuk perumahan yang aman dilengkapi fasilitas air bersih, telah memungkinkan masyarakat prasejahtera di seluruh nusantara memiliki tingkat kesehatan, kondisi kehidupan, dan peluang kerja lebih baik, serta memperoleh pendapatan yang lebih tinggi. “
Infrastruktur tertinggal dalam kecepatan urbanisasi
Indonesia telah memperlihatkan pertumbuhan ekonomi yang mengesankan sejak akhir 1990-an, dengan lebih dari tiga juta orang Indonesia terbebas dari kemiskinan sejak 2009. Kini, sebagai negara dengan tingkat ekonomi terbesar di Asia Tenggara, Indonesia telah meningkatkan alokasi dana untuk kebutuhan publik dalam bidang pendidikan, kesehatan, dan program bantuan sosial lainnya.
Tetapi perbaikan pembangunan infrastruktur belum mampu mengimbangi kecepatan urbanisasi. Indonesia adalah salah satu negara dengan tingkat urbanisasi tercepat di Asia, dengan perkiraan 68% dari populasi akan tinggal di daerah perkotaan pada 2040, naik dari 51% saat ini. Dari angka tersebut, hanya sekitar 40% yang bisa mengakses air bersih, dan hanya 72% yang memiliki fasilitas sanitasi yang layak. Sementara itu, sekitar 35% dari daerah perkotaan tidak memiliki sistem drainase yang memadai.
Selain itu, kurangnya kemampuan pemanfaatan lahan serta rendahnya kemampuan manajemen peraturan juga berkontribusi terhadap peningkatan kemacetan dan pengembangan lingkungan kota yang serampangan. Akibatnya, perumahan yang terjangkau untuk kelompok berpenghasilan rendah makin sulit didapat. Pada 2018, sekitar 8% dari masyarakat perkotaan terpaksa tinggal di daerah kumuh.
Transformasi perkotaan di Makassar
Contoh pembangunan yang baik terdapat di Kecamatan Batua di Kota Makassar. Dulu, Batua memiliki sekitar 8,12 hektar area kumuh, dengan total populasi 1.450 orang, dan seperlima dari mereka hidup di bawah garis kemiskinan nasional pada 2017. Penderitaan warga bersumber pada sistem drainase yang buruk dan keterbatasan fasilitas untuk pengelolaan limbah padat. Akibatnya, sering terjadi banjir. Kondisi jalan juga buruk, menyebabkan masyarakat sulit bepergian dan beraktivitas di jalan.
Untuk mengatasi masalah tersebut, proyek ini membiayai pembangunan lebih dari 4 kilometer saluran air demi mengurangi banjir dan 3,5 kilometer jalan lingkungan, serta membangun fasilitas pengelolaan limbah padat. Sementara itu, pemerintah memberikan pelatihan dan bantuan dana bagi penduduk untuk mempelajari cara menanam dan menjual tanaman seperti cabai dan tanaman hias. Jalan-jalan baru telah mempermudah mobilitas penduduk, terutama saat harus pergi atau berkumpul pada acara-acara olahraga dan pelatihan.
“Proyek ini telah memberi peluang bagi ADB untuk mendukung upaya pemerintah mencapai pertumbuhan inklusif yang lebih baik dengan melibatkan masyarakat di daerah tertinggal di Indonesia,” kata Winfried Wicklein, Country Director ADB untuk Indonesia.
Kemajuan di Bima
Di Bima, ADB telah bekerja sama dengan pemerintah pusat dan daerah untuk merancang perpindahan 3.000 keluarga dari wilayah tepi sungai selama tiga tahun ke depan. Rencana tersebut juga termasuk mensterilkan area selebar 5 meter tepat di sebelah sungai, yang akan dikembangkan oleh Badan Kerjasama Internasional Jepang menjadi ruang terbuka.
Di lokasi yang telah dipilih oleh pemerintah daerah, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat dalam tiga tahun ini juga sedang membangun perumahan dengan bahan-bahan yang diambil dari wilayah setempat. Pemerintah kemudian berkoordinasi dengan lima kecamatan untuk mencari sukarelawan yang bersedia tinggal di daerah baru. Mereka hanya membayar sewa sebesar Rp90.000 (sekitar $6) per bulan, lebih rendah jika dibandingkan dengan harga pasaran normal.
Walikota Bima, Muhammad Lutfi, mengatakan dia awalnya sempat khawatir tidak mendapatkan cukup sukarelawan untuk pindah ke lokasi tempat tinggal baru. Nyatanya, animo masyarakat justru luar biasa, sehingga pemerintah kota terpaksa membuat daftar antrian.
Kriteria ketat diberlakukan dalam proyek ini. Keluarga yang memenuhi syarat adalah mereka yang memiliki penghasilan di bawah standar garis kemiskinan nasional, tidak memiliki rumah, juga bukan pegawai negeri. Prioritas diberikan untuk keluarga yang kepala rumah tangganya perempuan atau dari kelompok rentan lainnya.
Bagi keluarga Kiki, butuh setahun untuk menjalani proses pendaftaran, namun menurutnya waktu setahun itu tidak sia-sia. Robitan, yang keluarganya telah hidup di tepi sungai selama beberapa generasi, mengatakan bahwa ia tidak akan mampu pindah tanpa bantuan pemerintah. Rumah lamanya terkena banjir empat hingga 10 kali tiap tahun, dan dalam beberapa tahun terakhir kondisi daerahnya memburuk akibat deforestasi dan kesalahan alih fungsi lahan.
Kiki berharap ia dan keluarganya akan tinggal di rumah barunya itu untuk jangka waktu yang lama. “Rumah ini sangat nyaman,” katanya. “Sedangkan rumah lama berada di dataran rendah. Itu sebabnya mudah banjir saat hujan. Lagipula, lingkungan lama sudah terlalu padat. “
Leave a Reply