Begitu Sri bercerita dalam perjalanan pulang menyusuri gang sempit menuju rumahnya. Salah satu anaknya, Feby, 9, membuntutinya tanpa bersuara.
Rumah mereka kecil, empat kali empat meter, dindingnya belum dicat. Cukup lama keluarga Feby hidup di sana tanpa jamban dan air minum bersih. Dulu, mereka buang air besar di parit atau selokan dekat rumah. Tak jarang limbahnya langsung masuk ke kali tempat warga melakukan kegiatan sehari-hari: mandi, mencuci baju, mencuci piring.
Untuk air minum sehari-hari pun mereka mengandalkan kali yang sama, serta sumber air tanah lain yang telah terkontaminasi. Menurut laporan yang dirilis UNICEF baru-baru ini, 89 persen sumber air minum dan 67 air minum di Indonesia tercemar oleh tinja.
Praktik membuang air besar sembarangan sangat berbahaya bagi kesehatan. Bersama kebiasaan-kebiasaan tidak higienis, praktik ini adalah penyebab utama kematian, kekurangan gizi, stunting dan kerusakan daya kognitif anak-anak.
Menurut laporan UNICEF, Indonesia adalah salah satu dari tiga negeri di dunia dengan jumlah penduduk tertinggi—20 juta—yang masih membuang tinja di alam terbuka.
Tak heran apabila diare—dan tifus—masih merupakan sumber kematian utama anak-anak di bawah lima tahun, termasuk di daerah Feby.
Kampanye Stop Buang Air Sembarangan
Sri dan suaminya, Suryatul Handi, bekerja sebagai buruh tani. Upah harian mereka hanya cukup untuk makan, membeli sabun, dan kebutuhan dasar lainnya. Biaya pembangunan jamban tak terjangkau, belum termasuk pipa air minum di dalam rumah.
UNICEF/2020/Veska
“Dulu aku buang air besar di got. Waktu kena diare, rasanya lemas dan pusing. Aku gak mau sakit diare lagi.”Feby, 9 tahun.
Baru-baru ini keluarga Feby menerima jamban dan akses air minum bersih sebagai bagian dari kampanye Stop Buang Air Sembarangan. Kampanye itu merupakan bagian dari program UNICEF untuk membantu daerah miskin mencapai status OFD atau Bebas Buang Air Sembarangan. Tujuannya membantu meringankan beban ekonomi keluarga pra-sejahtera seperti keluarga Feby.Ibu Sri
Tantangan membangun dan merawat sanitasi aman
Walau demikian, keberadaan jamban tak serta-merta berarti hilangnya ancaman diare. Di lingkungan Feby, pencemaran air akibat limbah toilet yang dibuang sembarangan masih merupakan masalah besar.
Menurut studi Bank Dunia baru-baru ini, sekitar 95 persen dari limbah BAB di Indonesia dibuang tanpa diolah terlebih dahulu di Instalasi Pengelolaan Lumpur Tinja (IPLT). Setelah meresap di tanah, air limbah itu dibiarkan mengalir saja ke sawah, sungai dan selokan, meningkatkan pencemaran lingkungan serta resiko kesehatan.
Kendala lain adalah kurangnya pengetahuan warga tentang sanitasi. Kebanyakan keluarga di daerah itu tak paham bagaimana memasang dan merawat jamban mereka sendiri.
Suryatul bukan pengecualian. Menurut seorang petugas sedot tinja yang baru berkunjung, Suryatul tampaknya tak menyadari bahwa air udara di tangki kakusnya terlalu kecil, dan bahwa ia harus menyedot jamban setidaknya dua kali setahun.
Namun, Suryatul menanggapi ide pelatihan dengan positif, sebab ia tak ingin anak-anaknya sakit lagi.
“Kalau ada pelatihannya, saya pasti mau belajar dan memperbaiki tangki di rumah.”Suryatul Handi, ayah Feby.
Menuju Sistem Instalasi Pengelolaan Air Limbah Domestik Yang Aman
Karena pemberian jamban kepada penduduk tak cukup untuk membangun sistem sanitasi aman yang berkesinambungan, UNICEF bekerja sama dengan Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) untuk merancang peta jalan bagi pembangunan sistem Instalasi Pengelolaan Air Limbah Domestik yang kokoh dan berkelanjutan.
Di bawah inisiatif ini, tak hanya jumlah jamban dan akses air minum bersih yang akan ditingkatkan namun juga kapasitas termasuk sumber daya manusia. UNICEF juga akan menyusun program berbasis komunitas untuk mendidik warga tentang kebersihan pribadi, kaitan antara pembuangan air limbah sembarangan dengan resiko kesehatan, dan cara penggunaan dan perawatan jamban yang baik dan benar.
Namun sebagaimana dengan semua sistem berkesinambungan, keterlibatan komunitas penting dalam upaya ini, terutama karena pembangunan infrastruktur pengelolaan air limbah tergolong mahal dan penuh tantangan. Justru karena tingkat kesadaran dan pengetahuan masyarakat masih rendah, kebutuhan atas sumber dan lembaga pendanaan alternatif menjadi semakin mendesak.
Keberhasilan inisiatif ini dapat bergantung pada donasi dari pendukung yang murah hati seperti Anda.
Dibutuhkan adanya suara kolektif untuk melampaui kendala-kendala teknis dan politis yang menghalangi hak paling mendasar itu: agar semua warga Indonesia dapat hidup dengan sanitasi aman.Bapak Suryatul
Ingin membantu anak-anak hidup lebih layak dan lebih sehat?
Berkat sumbangan dari para dermawan di Indonesia dan kerja sama dengan ahli dan pekerja WASH (Water, Sanitation and Hygiene) di seluruh pelosok Nusantara, UNICEF telah berhasil membantu menyediakan fasilitas sanitasi aman untuk keluarga Feby dan keluarga pra-sejahtera lainnya.
Meski demikian, masih banyak yang harus dilakukan untuk menjadikan Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM) realita bagi semua warga Indonesia. Untuk itu kami butuh dukungan Anda.
Sumber : https://www.unicef.org/indonesia/id/air-sanitasi-dan-kebersihan-wash/cerita/sanitasi-aman-untuk-feby
Leave a Reply