Keberadaan sarana prasarana sanitasi yang memadai mutlak diperlukan, mengingat penduduk membutuhkan kehidupan dan lingkungan yang bersih dan sehat. Kebutuhan dasar terkait air dan sanitasi antara lain adalah ketersediaan sumber air minum yang bersih, ketersediaan sarana untuk mandi, mencuci, dan kakus (MCK) yang memadai, dan sarana pengelolaan limbah yang baik. Jika sumber air minum tercemar dan lingkungannya penuh sampah atau limbah, maka akan membahayakan kesehatan penduduk di lingkungan tersebut.
Peneliti Ekologi Manusia Pusat Riset Kependudukan BRIN, Rusli Cahyadi, menjelaskan bahwa sanitasi di kota besar seperti Jakarta memiliki dinamika pengelolaannya tersendiri. Sebagai Ibu Kota Negara dengan jutaan orang penduduk membutuhkan pengelolaan yang tepat.
“Pembangunan sarana sanitasi dan air di Jakarta, sangat lambat dan kurang developed jika dibanding infrastruktur dasar lainnya,”ujar Rusli.
Jakarta sebagai bench marking pembangunan sanitasi perkotaan, juga memiliki dua wajah permukiman, yaitu yang pertama formal housing atau bisa disebut perumahan, dan kedua, informal settlement atau bisa disebut kampung.
Rusli mengungkapkan hal tersebut pada forum bertajuk, Pusat Riset Kependudukan Urban Lecture Series #9 dengan judul “Meeting Everyone’s Needs for Sanitation in Urban Areas”, Kamis, (28/10). Dalam forum daring ini juga dijelaskan awal mula pengembangan sanitasi di kawasan permukiman Jakarta.
“Kampung Improvement Project atau disingkat KIP, adalah program perbaikan sarana sanitasi di wilayah perkampungan Jakarta pada akhir era 1960-an,” ujar Rusli.
Hasil survei di Jakarta yang dilakukan Rusli Cahyadi mengungkap dua temuan yang menarik. “Ada dua hal yang kontradiksi, di satu sisi dikatakan bahwa cakupan sanitasi serta air bersih Warga Jakarta meningkat, namun juga ditemukan sangat tingginya pencemaran air di Jakarta,” ungkap Rusli.
Survei tersebut memberi contoh, bahwa terjadi peningkatan cakupan pengeolaan limbah cair di Jakarta, namun juga ditemukan terjadi peningkatan pencemaran di ground maupun surface water di banyak wilayah di Jakarta, dari tingkat sedang sampai tinggi.
Rusli mensinyalir, fenomena kontradiktif yang terjadi di DKI di atas bisa jadi disebabkan septic tank penduduk yang bermasalah, sehingga terjadi pencemaran air tanah oleh bakteri E-Coli.
“Data statistic menjelaskan, bahwa 93% warga Jakarta, memiliki akses ke sarana pembuangan limbah cair, dan 64% warga menggunakan septic tank individu sebagai sarana pengelola limbah. Survei juga mengungkap bahwa 80 % sumur dalam di Jakarta, sudah tercemar bakteri E-Coli.
“Dua temuan yang bertolak belakang di atas, bisa jadi juga karena definisi serta indikator yang dipakai dalam survey tersebut tidak sama, terutama dalam mendefinisikan arti “akses terhadap sanitasi yang layak,” ujar Rusli.
Turut hadir sebagai Narasumber, David Satterthwaite, Senior Fellow, Team Leader Human Settlement, Urban Poverty and Local Organizaztion, di International Institute for Environment and Development (IIED). Secara garis besar beliau menekankan perlunya kesamaan definisi dan indikator dalam menetapkan suatu target pembenahan sanitasi.
“Karena terkadang, definisi dan indikator yang digunakan suatu Lembaga, belum tentu pas atau cocok jika digunakan di daerah tertentu,” ungkap David.
David juga menekankan pentingya kejelian melihat dan membaca konteks dalam mengaplikasikan definisi dan indikator target suatu program. “Sebagai contoh, mungkin disuatu daerah dengan kepadatan penduduk tinggi lebih cocok menggubakan sistem limbah communal / bersama, dikarenakan terbatasnya lahan,” tambah David.
Dalam hal ini perlu membaca kemampuan atau kapsitas pemerintah, hal ini perlu untuk memudahkan bernegosiasi mengenai solusi terhadap masalah sanitasi yang ada di daerah tersebut. David juga mengungkap pengalamannya mengerjakan program pembangunan sanitasi di sejumlah negara di Afrika.
“Banyak wilayah di perkotaan di Afrika, bisa dinilai sangat kurang kalau tidak ingin dikatakan tidak punya sama sekali sarana-prasarana sanitasi dan air minum yang memadai,” ujarnya. Upaya perbaikan sanitasi kadang menjadi tambah sulit, karena kurangnya atau tdak ada-nya data baik peta, karakter penduduk, yang akan diintervensi program tersebut.
Senada dengan David, Kepala Pusat Riset Kependudukan-BRIN, Herry Jogaswara, juga menekankan pentingnya tukar-menukar informasi. “Forum Diskusi seperti ini, dengan mengundang David, bisa menambah sudut pandang kita serta wawasan kita dalam mengkaji masalah air dan sanitasi, yang banyak ditemukan di Indonesia”, pungkas Herry.
Sumber : https://kependudukan.brin.go.id/seputar-kegiatan-ppk/tantangan-pengelolaan-air-bersih-dan-sanitasi-masyarakat-jakarta/