”Sejarah manusia dicerminkan dalam sejarah saluran air kotor (gorong-gorong)…. Gorong-gorong adalah nurani kota…. Gorong-gorong itu nyinyir. Ia mengisahkan apa saja.”
(Victor Hugo, dalam novel ”Les Miserables”/Orang-orang Sengsara)
Entah apa yang menyebabkan pengarang besar Perancis ini ingat saluran air perkotaan tatkala menulis novel tentang orang-orang sengsara ini…. Tapi, boleh jadi ia benar.
Ketika Sabtu (22/3) lalu kita memperingati Hari Air Sedunia, seolah frase dari karya Hugo di atas banyak digaungkan kembali, misalnya saja oleh koresponden Reuters di Oslo, Alister Doyle.
Seperti ketika memperingati Hari Tuberkulosis, kemarin, yang ditandai dengan keluarnya laporan perkembangan terakhir mengenai pengidap TB di dunia, dalam peringatan Hari Air Sedunia ini pun dikeluarkan peta sanitasi oleh WHO/Unicef, dua badan PBB yang melakukan program pemantauan bersama untuk penyediaan air bersih dan sanitasi.
Disandingkan dengan Tujuan Pembangunan Milenium (MDGs) 1990-2004, tampak negara-negara di dunia terbagi dalam empat kategori, yakni ”Seperti Direncanakan (On Track)”, ”Tak Cukup Maju (Insufficient Progress)”, ”Tak Ada Kemajuan (No Progress)”, dan ”Tidak Jelas (Insufficient Data)”. Yang termasuk dalam On Track tentu saja negara-negara maju. Indonesia masuk dalam Insufficient Progress, sementara sebagian besar Afrika Sub-Sahara bisa dikatakan tidak memperlihatkan kemajuan.
Dalam ilustrasi (antara lain dimuat dalam The China Post, 18/3/2008) diperlihatkan seorang gadis muda Mali sedang mengumpulkan air hujan di ibu kota negara itu, Bamako.
Jadi, memang secara umum, untuk soal penyediaan air bersih, juga sistem sanitasi, dunia memang belum memperlihatkan kemajuan menggembirakan. Kini dari 10 orang, hanya tiga yang punya koneksi pada sistem riol atau saluran air umum.
Masalahnya, dengan bertambahnya jumlah penduduk dunia, maka tersedianya sanitasi lebih baik, seperti ditargetkan MDGs untuk tahun 2015, yakni bagi 1,6 miliar orang, tampaknya akan meleset.
Ide-ide baru
Seperti disinggung di atas, ketika disebutkan insufficient progress, sesungguhnya implisit juga diartikan ada kemajuan, hanya saja kurang memadai. Di China ada banyak kemajuan. Perusahaan pengolahan limbah, seperti Veolia atau Suez, juga cukup banyak mendapat kontrak untuk membangun fasilitas pengolahan limbah di berbagai kota dunia, mulai dari La Paz hingga Rabat.
Di luar pabrik pengolahan limbah, para ahli juga menyebut solusi alam guna memangkas penyakit yang dibawa air kotor dan siap menyerang warga miskin perkotaan, antara lain menggiatkan pemanfaatan tanaman atau bakteri tanah yang hidup dengan makan limbah.
Seperti dilaporkan oleh Doyle, ada juga skema baru, seperti membangun tanah serapan (wetland) di penjara Mombasa, Kenya, guna mengolah air kotor 4.000 napi yang selama ini mengalir saja tanpa diolah ke sungai. Atau membangun kolam di Afrika Selatan, di mana ganggang dimanfaatkan untuk memurnikan limbah dan kemudian digunakan sebagai pupuk.
Sebagai catatan, sekitar 90 persen air buangan dan 70 persen limbah industri di negara berkembang digelontorkan ke sungai tanpa pemrosesan, ujar Kepala Program Lingkungan PBB (UNEP) Achim Steiner. Ia menambahkan, masih banyak yang tak tahu kemampuan tanah gambut, rawa, atau tanah serapan dalam menyaring limbah.
Konsekuensi dan kendala
Masih belum menggembirakannya kemajuan di bidang penyediaan air bersih dan sistem sanitasi di berbagai negara di dunia menggambarkan bahwa kesadaran mengenai hal itu belum tinggi. Banyak negara yang masih menganggap remeh efek sanitasi bagi kesehatan, kata Pierre Victoria dari Veolia Water.
Akibatnya, ada satu anak yang meninggal setiap 20 detik akibat sanitasi buruk. Artinya, sebenarnya ada 1,5 juta kematian yang bisa dicegah dari penyakit seperti diare dan kolera.
Namun, soal sanitasi tampaknya mudah diwacanakan, tetapi pada kenyataannya tidak mudah untuk diwujudkan. Sistem pembuangan air kotor yang layak dengan jalur pipa dan pabrik pengolahan masih merupakan investasi mahal bagi banyak negara.
Ketika pembiayaan untuk sanitasi masih dirasa mahal, nasihat untuk memanfaatkan alam patut dipertimbangkan. Sistem natural, seperti tanah serapan, hutan, atau bakau, sebaiknya dibiarkan saja dan tidak diubah menjadi lahan pertanian karena ia memberi layanan gratis, juga makanan, pemurnian air, atau material bangunan.
Dari sisi kendala untuk memecahkan krisis sanitasi global, selain biaya juga pernah disebut ”rasa malu membicarakan limbah manusia”. (”Poo taboo” slows progress on world sanitation, AFP, 18/3/2003).
Padahal, limbah yang dihasilkan 6 miliar penduduk dunia ditangani secara berbeda-beda dengan dampak yang berbeda-beda pula. Hanya 1 miliar orang yang menggunakan toilet guyur yang tersambung dengan sistem pembuangan. Lainnya, sekitar 2,8 miliar, menggunakan toilet lubang (galian). Selebihnya, yang merupakan fraksi besar penduduk dunia, 2,4 miliar orang, tak punya WC, ujar Dr Jamie Bartram, yang saat itu Koordinator Air, Sanitasi, dan Kesehatan WHO.
Padahal, patogen dan parasit yang berkembang biak di limbah manusia dengan cepat mencemari air tanah dan permukaan jika faeces tidak dibuang secara benar, dan itu menyebabkan penyakit yang mengakibatkan kematian sekitar dua juta anak setiap tahunnya, ujar Dr Carol Bellamy, Direktur Eksekutif Unicef.
Dari satu sisi jelas diperlukan investasi dan juga inovasi teknologi, di sisi lain juga dibutuhkan keterbukaan. Kalau orang belum bisa membahas soal limbah manusia secara terbuka, krisis sanitasi masih akan sulit dipecahkan.
Sumber : http://www.ampl.or.id/digilib/read/victor-hugo-air-bersih-dan-sanitasi/22246
Leave a Reply